Wisteria #part 2
#Seni Melarikan Diri
“Kau
menang!” kataku keras-keras. Aku bertolak pinggang dan menelengkan kepalaku
sedikit, seperti yang sering dilakukan ibuku setiap kali dia ingin mendapatkan
perhatian ayahku. Tetapi Ludwig van Dekker tampaknya benar-benar tak sudi
membagi sedikit perhatiannya buatku.
“Apa yang
sedang kau baca?” tanyaku.
“Buku”
“Kau membaca
semua kata di dalamnya, atau hanya sebagian saja?”
Perkataanku
yang ngotot tadi berhasil mengusiknya. Diselipkannya satu jari ke tengah-tengah
buku itu sebagai penanda, dan dia pun berbalik. Tatapan garangnya menghunjam
langsung ke mataku.
“Kau tahu
siapa Sultan Hasanuddin?” tanyanya.
“Tidak”
“Ah”
desahnya, “kemampuan pengamatan yang buruk”.
Setelah
berkata begitu, dia pun kembali membenamkan hidungnya di antara halaman-halaman
bukunya.
Dalam
beberapa tahun lagi, aku pasti bisa membalas ejekannya tadi dengan sengit, tapi
hari itu atau lebih tepatnya saat ini aku belum berani. Aku masih begitu
senangnya melihat musim panas yang terbentang di hadapanku, yang akan
kuhabiskan di pantai cantic itu, dan aku tak kepingin bertengkar dengan orang
pertama yang kutemui setelah keluar dari rumah.
Kubayangkan
ibuku sedang sibuk menyuruh-nyuruh para pelayan untuk membereskan barang-barang
bawaan kami, tapi aku tidak mau menghabiskan sepanjang sore dengan cara itu!
Aku sudah menemukan gerbang kecil di belakang taman. Aku membukanya, dan dari
sana aku menyusuri jalanan kecil yang meliuk-liuk di kota tua itu, ke atas
tanjung, menuju tembok benteng.
Anak lelaki
itu adalah orang pertama yang kutemui. Aku tak tahu apa pun tentangnya, kecuali
bahwa dia benar-benar tidak sopan, dan berbicara dalam Bahasa Melayu yang tidak
begitu fasih dan berlogat orang Belanda. Jadi, aku pun memutuskan untuk tidak
mengacuhkannya.
Aku bergerak
mendekati pinggiran benteng itu dan memandang ke bawah. Garis pasir putih
terbentang tak beraturan, hampir tampak seperti ingin memeluk birunya air laut.
Aku mengamati pelabuhan kecil, tanjung, dan dua pulau besar di ujungnya, yang
berjarak tak lebih dari serratus meter dari pinggir laut.
Saat aku
berbalik, barulah aku menyadari ada sebuah patung di atas tumpuan itu, tak
seberapa jauh dari tempat kami berada.
“Sultan
Hasanudin” bisikku, dengan lidah berdecap.
Ternyata
itulah dia.
“Dia seorang
pahlawan daerah” kataku lantang sambal mengamat-amati patung itu.
Aku lalu
melompat ke pinggir tembok dan duduk di atasnya. Bisa kudengar bunyi debur ombak di
belakangku, dan kekosongan yang diakibatkan oleh ketinggian benteng itu terasa
benar-benar memabukkan.
“Dia seorang pejuang yang sangat gigih” katanya, memperbaiki
ucapanku.
Dia membalikkan satu halaman bukunya, lalu melanjutkan “Lahir di
Gowa, sebuah daerah tak jauh dari sini, atau lebih tepatnya di kota ini juga,
karena dulu ini juga merupakan daerah Kerajaan Gowa, tahun 1631, dia merupakan
anak kedua dari empat bersaudara”
Aku membiarkan kedua kakiku terayun-ayun di bawah, pura-pura tidak
lagi mendengarkannya. Dia pun berhenti bicara dan pura-pura membaca.
Kami terus begitu saja selama beberapa menit. Tetapi kemudian, aku
mengagetkannya saat dia mengamat-amatiku dari balik bukunya.
Aku sangat ingin tertawa, dan aku pun melakukannya.
“Kenapa, sih? Apanya yang lucu?” tanyanya padaku.
“Aku tertawa karena kau sedang mengawasiku”
“Itu tidak benar” katanya berbohong.
“Memang begitu, kok. Kau mengintipku dari balik bukumu”
“Huh!” dengusnya, mencari-cari posisi yang paling nyaman di tempat
duduknya yang diselimuti tumbuhan menjalar.
“Ngomong-ngomong, namaku Katia” ujarku riang. Aku tak bisa berbuat
apa-apa lagi selain tertawa, memandang patung orang yang sedang menunggangi
kuda dan memegang pedang itu, serta memikirkan hal-hal konyol yang tadi sudah
dikatakan anak lelaki ini. Pahlawan, pejuang, bla bla bla... omong kosong khas
anak lelaki.
“Dan kau? Kau punya nama?”
“Malah punya tiga: Ludwig Willem van Dekker” jawabnya sinis. “Tapi
semua orang memanggilku Ludwig atau pun Willem saja...kurasa Dekker terlalu
eksentrik untuk mereka ucapkan!”
Suasana kemudian menjadi hening sejenak, bahkan bagiku rasa hening
ini terjadi cukup lama. Akhirnya aku berkata: “Huh, menurutku mereka salah!
Ludwig atau pun Willem itu nama yang sudah umum...Dekker lebih cocok buatmu!”
“Kalau menurutmu begitu...”
“Memang begitu menurutku. Malahan aku sudah memutuskan: buatku kau
adalah Dekker!”
Anak lelaki itu hanya mengangkat bahunya.
“Terserah kau saja. Lagi pula, itu kan cuma nama...”
Aku lalu menambahkan: “Apa kau sudah berbulan-bulan tinggal di
Ujung Pandang dengan saudara-saudaramu?”
Dia tampak terkejut.
“Tadi kau bilang kemampuan mengamatiku payah, kan?” kataku sambil
menunjuk ke arah patung itu. “Mungkin kau benar. Tapi aku tahu kau bukan orang
dari daerah sini, karena kita mengobrol dengan bahasa Indonesia dan logatmu
terlalu sempurna, jadi tak mungkin kau mempelajarinya di sekolah di sekolah.
Lalu...pakaianmu tidak seperti pakaian orang di desa dekat laut, jadi kupikir
kau tinggal di kota sudah agak lama. Raut mukamu keruh, seperti orang yang baru
saja bertengkar dengan seseorang, atau yang baru kabur dari rumah, seperti aku.
Selain itu, jaketmu kusut, satu kancingnya hilang, dan saat kau bercerita
tentang keempat saudara si pejuang itu, mataku kau tampak kurang bersemangat,
jadi aku pun menyimpulkan...anak lelaki ini baru saja bertengkar dengan
saudaranya” Aku menghirup napas panjang. “Berapa yang benar dari tebakanku
tadi?”
Mata Dekker benar-benar terlihat kaget. Tatapan itu sangat berbeda
dari tatapan dingin seorang genius yang beberapa tahun kemudian dikenal semua
orang, saat anak lelaki ini sudah menjelma menjadi detektif terhebat di seluruh
dunia.
Dia menutup bukunya, dan dalam hatiku aku tersenyum simpul.
Tampaknya aku sudah berhasil menyedot perhatiannya.
“Kau bicara dalam Bahasa Indonesia, tapi kau juga bukan orang
Indonesia” tuturnya.
“Aku orang Perancis” jawabku cepat-cepat, memupus kesempatannya
untuk menduga-duga.
“Tapi kau sejak kecil tinggal di Batavia”
“Betul sekali” Aku bertanya-tanya bagaimana mungkin dia tahu itu.
Aku mengenakan gaun pendek, sepatu, dan kaus kaki putih, yang tak satu pun
menunjukkan ciri khas orang Batavia. Orang Venetie ataupun orang Bali juga hampir
persis pakaiannya denganku. “Memangnya kelihatan, ya?”
Dekker terkekeh.
“Tidak, tidak sama sekali. Aku Cuma menebak-nebak saja. Tapi...kau
tidak mengenakan sepatu yang cocok untuk berjalan-jalan di pantai atau
gunung...jadi kau pasti baru sampai disini. Tadi kau bilang sudah kabur dari
rumah, jadi kusimpulkan kau tidak sedang berjalan-jalan. Tapi kau terlihat
takut, seperti orang yang baru kabur karena takut akan sesuatu. Jadi, kau pasti
kabur karena alasan lain. Bisa jadi kau ada di desa ini untuk berlibur bersama
orang tuamu”
Suaranya kalem, menenangkan, hampir-hampir terdengar merdu.
Aku melanjutkan permainan.
“Apa kau punya saudara perempuan?”
Willem van Dekker berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Tidak”
“Kalau saudara laki-laki?”
“Sudah kupikirkan tadi. Dari caramu berbicara padaku, rasanya ya,
dan kau memiliki saudara laki-laki”
“Salah, Dekker”
“Kau anak
tunggal”
“Aha” Aku
mengayun-ayunkan kakiku. “Kau ternyata sangat pintar. Kau sudah menebak hampir
semuanya, kecuali tentang keberadaan orangtuaku, soalnya hanya ada ibuku
saja….”
“Oh, maafkan
aku” Dekker buru-buru minta maaf. “Aku tidak bermaksud…”
“Bukan
begitu! Memangnya pikirmu apa? Ayahku baik-baik saja, hanya dia tidak ikut ke
sini bersama kami. Dia harus bekerja. Pekerjaannya di bidang perkeretaapian.
Tapi dialah yang memilih tempat ini. Kami datang bertiga: aku, ibuku, dan…Tuan
William”
Aku
memandang jalanan kecil tempat aku datang tadi sambal membayangkan kepala
pelayan keluargaku tiba saat itu juga, dengan tersengal-sengal dan cemas,
seperti biasanya.
Aku tak
menyadari bayangan mendung yang menyapu tatapan Dekker saat aku bercerita
padanya tentang ayahku. Aku takt ahu bahwa sebenarnya ayahnya telah
meninggalkannya sekitar 8 tahun silam.
“Apa yang
sedang kau baca?”
Dia mengecek
sampul depan bukunya, seolah sudah lupa judulnya.
“Max
Havelaar-sejarah atau lebih tepatnya lagi cerita tentang orang-orang
Indonesia dan juga segala perjuangannya….karangan Multatuli yang nama aslinya
Douwes Dekker” entah kenapa ketika ia menyebutkan nama yang terakhir ia begitu
ditekan seolah ia bangga bisa jadi dalam sejarah tersebut.
“Ceritanya
menarik?”
“Oh, ya.
Sangat”
“Kau mau,
tidak?”
“Mau apa?”
“Jadi
pahlawan atau apalah gitu yang sangat heroik”
Dekker
terkekeh sebelum menjawab. “Sejujurnya belum pernah terlintas di benakku, aku
hanya berpikir bagaimana menjadi diriku sendiri”
“Kalau aku
mau. Dan pasti aku akan bisa menjadi pahlawan yang hebat yang berada di baris
terdepan dalam pertempuran. Atau sebutannya pahlawan wanita, ya?”
“Bisa jadi.
Meskipun memang tak banyak pahlawan wanita yang mungkin berada di baris
terdepan”
“Payah! Tapi
aku akan menjadi salah satunya. Akan kuatur strategi perang yang sangat jitu,
dan aku akan bisa memenangkan banyak pertempuran dengan taktik jitu. Hei!
Kalian bergerak kearah sana dan jaga di pos situ! Tembak!”
Dekker
mencibir geli.
Saat itulah
aku mendengar suara Tuan William. Dia masih jauh, dan suaranya bergaung di
antara jalan-jalan kecil desa itu. Dia terus-menerus memanggil namaku: “Nona
Everdeen! Nona Everdeen!”
Betapa memalukan, pikirku. Benar-benar cara yang tepat
untuk memperkenalkan diri di sebuah tempat baru.
Teman baruku
itu sedang mengamat-amatiku, mempelajari reaksiku.
Aku melompat
turun dari atas tembok. Kupandangi pelabuhan, lautan, dan salah satu pulau
besar yang berjarak hanya ratusan meter dari tanjung itu. Sejenak aku
membayangkan pulau itu adalah pulau hasil penaklukan dari musuh dan tertancap
bendera negaraku yang berkibar-kibar.
“Kurasa aku
benar-benar harus kabur, Dekker…” tukasku. “Tuan William, kepala pelayan
keluargaku, akan tiba di sini sebentar lagi”
“Kabur?”
“Kabur.
Telingamu masih sehat, kan? Aku tak mau dia membawaku pulang ke rumah”
“Kedengarannya
dia khawatir”
“tidak.
Ibuku yang menyuruhnya. Tidak peduli aku pulang sekarang bersamanya, atau
pulang nanti saat makan malam, aku pasti tetap akan dimarahi. Jadi, lebih baik sekalian
saja aku pulang nanti saat makan malam saja, dan lebih baik kau bisa
mengertinya” entah kenapa aku berharap dia dapat mengertiku.
“Aku bisa
mengerti”
Aku berjalan
kea rah tangga batu yang menurun dari benteng menuju pantai.
“Lagi pula…”
tukasku, sambil berlagak hendak menuruni tangga, “aku tak mau menghabiskan sisa
sore ini dengan membereskan pakaian dalam dan baju-baju di lemari…atau lebih
buruk lagi, main kartu”
“Mengerikan!”
komentarnya, tak jelas apakah dimaksudkan untuk baju atau kartu.
Tentu saja
itu Cuma alasanku. Aku hanya berpura-pura padanya, sebab yang membereskan
baju-baju ialah para pelayan, dan ibuku tidak bermain kartu. Tetapi Dekker
tentu saja tidak mengetahui itu.
“Nona
Everdeen!” teriak Tuan William kini bergema, begitu dekat.
Aku
meletakkan kedua tanganku di pinggang “Bagaiman, Dekker? Kau mau melakukan apa?
Tetap membaca bukumu atau…membantuku kabur?”
Dekker
berpikir sejenak, lalu melipat buku pejuang itu setelah menyelipkan secarik
kain di dalamnya.
“Ke sebelah
sini…” usulnya.
Dia berhenti
di depan sebuah jalan yang amat sempit, sampai-sampai terlihat seperti celah di
antara batu karang, lalu menunjukkan jalannya padauk. Tangan kami tak sengaja
bersentuhan, dan dia cepat-cepat menariknya lagi, seolah tangannya habis
terpercik api. Dia lalu tak mengacuhkanku dan berjalan dalam keheningan,
membuat waktu terasa bergulir amat lama.
Dekker
berjalan cepat dengan langkah-langkah panjang. Aku mengikutinya dengan
penasaran, sesekali tergelincir di antara jalan setapak dan anak-anak tangga yang
turun ke laut kami pun tiba di dasar benteng dan mulai menyusurinya ke arah
pelabuhan.
“Kemana kita
pergi?” tanyaku sambal menarik tubuhnya ke belakang.
“Ke rumah
temanku” Dia tinggi, sangat kurus, dan jaket katunnya bergesekan dengan tulang
belakangnya yang menonjol.
Setiap kali
dia berhenti, dia melengkungkan tubuhnya dan membungkuk, seolah mencoba untuk
bersembunyi. Tetapi segera setelah dia berjalan lagi, punggungnya lurus
bagaikan layar.
“Apa yang
dikerjakan temanmu?”
“Dia punya
perahu kecil. Bukan miliknya, tapi milik ayahnya. Tapi…biasanya kami bisa
memakainya”
“Perahu?”
“Sangat
kecil”
“Dan kau
ingin memakainya untuk pergi…ke laut?”
“Biasanya
memang itulah fungsi perahu”
Aku tak bisa
percaya. Aku baru saja tiba di kota ini, tapi aku bukan hanya sudah mengenal
seorang anak laki-laki, melainkan juga sudah diajak berperahu olehnya.
“Wah…asyik
sekali!” pekikku girang.
Jadi
begitulah, Ludwig van Dekker membawaku ke palabuhan kecil untuk berkenalan
dengan kawan misteriusnya itu. Jika aku harus menunjukkan kapan tepatnya
seluruh bencana kami dimulai, nah, kurasa itulah saatnya.