-->
Thursday, 23 March 2017


#Seni Melarikan Diri

“Kau menang!” kataku keras-keras. Aku bertolak pinggang dan menelengkan kepalaku sedikit, seperti yang sering dilakukan ibuku setiap kali dia ingin mendapatkan perhatian ayahku. Tetapi Ludwig van Dekker tampaknya benar-benar tak sudi membagi sedikit perhatiannya buatku.

“Apa yang sedang kau baca?” tanyaku.

“Buku”                          

“Kau membaca semua kata di dalamnya, atau hanya sebagian saja?”

Perkataanku yang ngotot tadi berhasil mengusiknya. Diselipkannya satu jari ke tengah-tengah buku itu sebagai penanda, dan dia pun berbalik. Tatapan garangnya menghunjam langsung ke mataku.

“Kau tahu siapa Sultan Hasanuddin?” tanyanya.

“Tidak”

“Ah” desahnya, “kemampuan pengamatan yang buruk”.

Setelah berkata begitu, dia pun kembali membenamkan hidungnya di antara halaman-halaman bukunya.

Dalam beberapa tahun lagi, aku pasti bisa membalas ejekannya tadi dengan sengit, tapi hari itu atau lebih tepatnya saat ini aku belum berani. Aku masih begitu senangnya melihat musim panas yang terbentang di hadapanku, yang akan kuhabiskan di pantai cantic itu, dan aku tak kepingin bertengkar dengan orang pertama yang kutemui setelah keluar dari rumah.

Kubayangkan ibuku sedang sibuk menyuruh-nyuruh para pelayan untuk membereskan barang-barang bawaan kami, tapi aku tidak mau menghabiskan sepanjang sore dengan cara itu! Aku sudah menemukan gerbang kecil di belakang taman. Aku membukanya, dan dari sana aku menyusuri jalanan kecil yang meliuk-liuk di kota tua itu, ke atas tanjung, menuju tembok benteng.

Anak lelaki itu adalah orang pertama yang kutemui. Aku tak tahu apa pun tentangnya, kecuali bahwa dia benar-benar tidak sopan, dan berbicara dalam Bahasa Melayu yang tidak begitu fasih dan berlogat orang Belanda. Jadi, aku pun memutuskan untuk tidak mengacuhkannya.

Aku bergerak mendekati pinggiran benteng itu dan memandang ke bawah. Garis pasir putih terbentang tak beraturan, hampir tampak seperti ingin memeluk birunya air laut. Aku mengamati pelabuhan kecil, tanjung, dan dua pulau besar di ujungnya, yang berjarak tak lebih dari serratus meter dari pinggir laut.

Saat aku berbalik, barulah aku menyadari ada sebuah patung di atas tumpuan itu, tak seberapa jauh dari tempat kami berada.

“Sultan Hasanudin” bisikku, dengan lidah berdecap.

Ternyata itulah dia.

“Dia seorang pahlawan daerah” kataku lantang sambal mengamat-amati patung itu.

Aku lalu melompat ke pinggir tembok dan duduk di atasnya. Bisa kudengar bunyi debur ombak di belakangku, dan kekosongan yang diakibatkan oleh ketinggian benteng itu terasa benar-benar memabukkan.

“Dia seorang pejuang yang sangat gigih” katanya, memperbaiki ucapanku.

Dia membalikkan satu halaman bukunya, lalu melanjutkan “Lahir di Gowa, sebuah daerah tak jauh dari sini, atau lebih tepatnya di kota ini juga, karena dulu ini juga merupakan daerah Kerajaan Gowa, tahun 1631, dia merupakan anak kedua dari empat bersaudara”

Aku membiarkan kedua kakiku terayun-ayun di bawah, pura-pura tidak lagi mendengarkannya. Dia pun berhenti bicara dan pura-pura membaca.

Kami terus begitu saja selama beberapa menit. Tetapi kemudian, aku mengagetkannya saat dia mengamat-amatiku dari balik bukunya.

Aku sangat ingin tertawa, dan aku pun melakukannya.

“Kenapa, sih? Apanya yang lucu?” tanyanya padaku.

“Aku tertawa karena kau sedang mengawasiku”

“Itu tidak benar” katanya berbohong.

“Memang begitu, kok. Kau mengintipku dari balik bukumu”

“Huh!” dengusnya, mencari-cari posisi yang paling nyaman di tempat duduknya yang diselimuti tumbuhan menjalar.

“Ngomong-ngomong, namaku Katia” ujarku riang. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain tertawa, memandang patung orang yang sedang menunggangi kuda dan memegang pedang itu, serta memikirkan hal-hal konyol yang tadi sudah dikatakan anak lelaki ini. Pahlawan, pejuang, bla bla bla... omong kosong khas anak lelaki.

“Dan kau? Kau punya nama?”

“Malah punya tiga: Ludwig Willem van Dekker” jawabnya sinis. “Tapi semua orang memanggilku Ludwig atau pun Willem saja...kurasa Dekker terlalu eksentrik untuk mereka ucapkan!”

Suasana kemudian menjadi hening sejenak, bahkan bagiku rasa hening ini terjadi cukup lama. Akhirnya aku berkata: “Huh, menurutku mereka salah! Ludwig atau pun Willem itu nama yang sudah umum...Dekker lebih cocok buatmu!”

“Kalau menurutmu begitu...”

“Memang begitu menurutku. Malahan aku sudah memutuskan: buatku kau adalah Dekker!”

Anak lelaki itu hanya mengangkat bahunya.

“Terserah kau saja. Lagi pula, itu kan cuma nama...”

Aku lalu menambahkan: “Apa kau sudah berbulan-bulan tinggal di Ujung Pandang dengan saudara-saudaramu?”

Dia tampak terkejut.

“Tadi kau bilang kemampuan mengamatiku payah, kan?” kataku sambil menunjuk ke arah patung itu. “Mungkin kau benar. Tapi aku tahu kau bukan orang dari daerah sini, karena kita mengobrol dengan bahasa Indonesia dan logatmu terlalu sempurna, jadi tak mungkin kau mempelajarinya di sekolah di sekolah. Lalu...pakaianmu tidak seperti pakaian orang di desa dekat laut, jadi kupikir kau tinggal di kota sudah agak lama. Raut mukamu keruh, seperti orang yang baru saja bertengkar dengan seseorang, atau yang baru kabur dari rumah, seperti aku. Selain itu, jaketmu kusut, satu kancingnya hilang, dan saat kau bercerita tentang keempat saudara si pejuang itu, mataku kau tampak kurang bersemangat, jadi aku pun menyimpulkan...anak lelaki ini baru saja bertengkar dengan saudaranya” Aku menghirup napas panjang. “Berapa yang benar dari tebakanku tadi?”

Mata Dekker benar-benar terlihat kaget. Tatapan itu sangat berbeda dari tatapan dingin seorang genius yang beberapa tahun kemudian dikenal semua orang, saat anak lelaki ini sudah menjelma menjadi detektif terhebat di seluruh dunia.

Dia menutup bukunya, dan dalam hatiku aku tersenyum simpul.

Tampaknya aku sudah berhasil menyedot perhatiannya.

“Kau bicara dalam Bahasa Indonesia, tapi kau juga bukan orang Indonesia” tuturnya.

“Aku orang Perancis” jawabku cepat-cepat, memupus kesempatannya untuk menduga-duga.

“Tapi kau sejak kecil tinggal di Batavia”

“Betul sekali” Aku bertanya-tanya bagaimana mungkin dia tahu itu. Aku mengenakan gaun pendek, sepatu, dan kaus kaki putih, yang tak satu pun menunjukkan ciri khas orang Batavia. Orang Venetie ataupun orang Bali juga hampir persis pakaiannya denganku. “Memangnya kelihatan, ya?”

Dekker terkekeh.

“Tidak, tidak sama sekali. Aku Cuma menebak-nebak saja. Tapi...kau tidak mengenakan sepatu yang cocok untuk berjalan-jalan di pantai atau gunung...jadi kau pasti baru sampai disini. Tadi kau bilang sudah kabur dari rumah, jadi kusimpulkan kau tidak sedang berjalan-jalan. Tapi kau terlihat takut, seperti orang yang baru kabur karena takut akan sesuatu. Jadi, kau pasti kabur karena alasan lain. Bisa jadi kau ada di desa ini untuk berlibur bersama orang tuamu”

Suaranya kalem, menenangkan, hampir-hampir terdengar merdu.

Aku melanjutkan permainan.

“Apa kau punya saudara perempuan?”

Willem van Dekker berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Tidak”

“Kalau saudara laki-laki?”

“Sudah kupikirkan tadi. Dari caramu berbicara padaku, rasanya ya, dan kau memiliki saudara laki-laki”

“Salah, Dekker”

“Kau anak tunggal”

“Aha” Aku mengayun-ayunkan kakiku. “Kau ternyata sangat pintar. Kau sudah menebak hampir semuanya, kecuali tentang keberadaan orangtuaku, soalnya hanya ada ibuku saja….”

“Oh, maafkan aku” Dekker buru-buru minta maaf. “Aku tidak bermaksud…”

“Bukan begitu! Memangnya pikirmu apa? Ayahku baik-baik saja, hanya dia tidak ikut ke sini bersama kami. Dia harus bekerja. Pekerjaannya di bidang perkeretaapian. Tapi dialah yang memilih tempat ini. Kami datang bertiga: aku, ibuku, dan…Tuan William”

Aku memandang jalanan kecil tempat aku datang tadi sambal membayangkan kepala pelayan keluargaku tiba saat itu juga, dengan tersengal-sengal dan cemas, seperti biasanya.

Aku tak menyadari bayangan mendung yang menyapu tatapan Dekker saat aku bercerita padanya tentang ayahku. Aku takt ahu bahwa sebenarnya ayahnya telah meninggalkannya sekitar 8 tahun silam.

“Apa yang sedang kau baca?”

Dia mengecek sampul depan bukunya, seolah sudah lupa judulnya.

Max Havelaar-sejarah atau lebih tepatnya lagi cerita tentang orang-orang Indonesia dan juga segala perjuangannya….karangan Multatuli yang nama aslinya Douwes Dekker” entah kenapa ketika ia menyebutkan nama yang terakhir ia begitu ditekan seolah ia bangga bisa jadi dalam sejarah tersebut.

“Ceritanya menarik?”

“Oh, ya. Sangat”

“Kau mau, tidak?”

“Mau apa?”

“Jadi pahlawan atau apalah gitu yang sangat heroik”

Dekker terkekeh sebelum menjawab. “Sejujurnya belum pernah terlintas di benakku, aku hanya berpikir bagaimana menjadi diriku sendiri”

“Kalau aku mau. Dan pasti aku akan bisa menjadi pahlawan yang hebat yang berada di baris terdepan dalam pertempuran. Atau sebutannya pahlawan wanita, ya?”

“Bisa jadi. Meskipun memang tak banyak pahlawan wanita yang mungkin berada di baris terdepan”

“Payah! Tapi aku akan menjadi salah satunya. Akan kuatur strategi perang yang sangat jitu, dan aku akan bisa memenangkan banyak pertempuran dengan taktik jitu. Hei! Kalian bergerak kearah sana dan jaga di pos situ! Tembak!”

Dekker mencibir geli.

Saat itulah aku mendengar suara Tuan William. Dia masih jauh, dan suaranya bergaung di antara jalan-jalan kecil desa itu. Dia terus-menerus memanggil namaku: “Nona Everdeen! Nona Everdeen!”

Betapa memalukan, pikirku. Benar-benar cara yang tepat untuk memperkenalkan diri di sebuah tempat baru.

Teman baruku itu sedang mengamat-amatiku, mempelajari reaksiku.

Aku melompat turun dari atas tembok. Kupandangi pelabuhan, lautan, dan salah satu pulau besar yang berjarak hanya ratusan meter dari tanjung itu. Sejenak aku membayangkan pulau itu adalah pulau hasil penaklukan dari musuh dan tertancap bendera negaraku yang berkibar-kibar.

“Kurasa aku benar-benar harus kabur, Dekker…” tukasku. “Tuan William, kepala pelayan keluargaku, akan tiba di sini sebentar lagi”

“Kabur?”

“Kabur. Telingamu masih sehat, kan? Aku tak mau dia membawaku pulang ke rumah”

“Kedengarannya dia khawatir”

“tidak. Ibuku yang menyuruhnya. Tidak peduli aku pulang sekarang bersamanya, atau pulang nanti saat makan malam, aku pasti tetap akan dimarahi. Jadi, lebih baik sekalian saja aku pulang nanti saat makan malam saja, dan lebih baik kau bisa mengertinya” entah kenapa aku berharap dia dapat mengertiku.

“Aku bisa mengerti”

Aku berjalan kea rah tangga batu yang menurun dari benteng menuju pantai.

“Lagi pula…” tukasku, sambil berlagak hendak menuruni tangga, “aku tak mau menghabiskan sisa sore ini dengan membereskan pakaian dalam dan baju-baju di lemari…atau lebih buruk lagi, main kartu”

“Mengerikan!” komentarnya, tak jelas apakah dimaksudkan untuk baju atau kartu.

Tentu saja itu Cuma alasanku. Aku hanya berpura-pura padanya, sebab yang membereskan baju-baju ialah para pelayan, dan ibuku tidak bermain kartu. Tetapi Dekker tentu saja tidak mengetahui itu.

“Nona Everdeen!” teriak Tuan William kini bergema, begitu dekat.

Aku meletakkan kedua tanganku di pinggang “Bagaiman, Dekker? Kau mau melakukan apa? Tetap membaca bukumu atau…membantuku kabur?”

Dekker berpikir sejenak, lalu melipat buku pejuang itu setelah menyelipkan secarik kain di dalamnya.

“Ke sebelah sini…” usulnya.

Dia berhenti di depan sebuah jalan yang amat sempit, sampai-sampai terlihat seperti celah di antara batu karang, lalu menunjukkan jalannya padauk. Tangan kami tak sengaja bersentuhan, dan dia cepat-cepat menariknya lagi, seolah tangannya habis terpercik api. Dia lalu tak mengacuhkanku dan berjalan dalam keheningan, membuat waktu terasa bergulir amat lama.

Dekker berjalan cepat dengan langkah-langkah panjang. Aku mengikutinya dengan penasaran, sesekali tergelincir di antara jalan setapak dan anak-anak tangga yang turun ke laut kami pun tiba di dasar benteng dan mulai menyusurinya ke arah pelabuhan.

“Kemana kita pergi?” tanyaku sambal menarik tubuhnya ke belakang.

“Ke rumah temanku” Dia tinggi, sangat kurus, dan jaket katunnya bergesekan dengan tulang belakangnya yang menonjol.

Setiap kali dia berhenti, dia melengkungkan tubuhnya dan membungkuk, seolah mencoba untuk bersembunyi. Tetapi segera setelah dia berjalan lagi, punggungnya lurus bagaikan layar.

“Apa yang dikerjakan temanmu?”

“Dia punya perahu kecil. Bukan miliknya, tapi milik ayahnya. Tapi…biasanya kami bisa memakainya”

“Perahu?”

“Sangat kecil”

“Dan kau ingin memakainya untuk pergi…ke laut?”

“Biasanya memang itulah fungsi perahu”

Aku tak bisa percaya. Aku baru saja tiba di kota ini, tapi aku bukan hanya sudah mengenal seorang anak laki-laki, melainkan juga sudah diajak berperahu olehnya.

“Wah…asyik sekali!” pekikku girang.

Jadi begitulah, Ludwig van Dekker membawaku ke palabuhan kecil untuk berkenalan dengan kawan misteriusnya itu. Jika aku harus menunjukkan kapan tepatnya seluruh bencana kami dimulai, nah, kurasa itulah saatnya.
Tagged
Al-Qalam Creative Media
Ditulis Oleh Al-Qalam Creative Media

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar