-->
Showing posts with label cerbung. Show all posts
Showing posts with label cerbung. Show all posts
Thursday, 23 March 2017
Wisteria #part 2


#Seni Melarikan Diri

“Kau menang!” kataku keras-keras. Aku bertolak pinggang dan menelengkan kepalaku sedikit, seperti yang sering dilakukan ibuku setiap kali dia ingin mendapatkan perhatian ayahku. Tetapi Ludwig van Dekker tampaknya benar-benar tak sudi membagi sedikit perhatiannya buatku.

“Apa yang sedang kau baca?” tanyaku.

“Buku”                          

“Kau membaca semua kata di dalamnya, atau hanya sebagian saja?”

Perkataanku yang ngotot tadi berhasil mengusiknya. Diselipkannya satu jari ke tengah-tengah buku itu sebagai penanda, dan dia pun berbalik. Tatapan garangnya menghunjam langsung ke mataku.

“Kau tahu siapa Sultan Hasanuddin?” tanyanya.

“Tidak”

“Ah” desahnya, “kemampuan pengamatan yang buruk”.

Setelah berkata begitu, dia pun kembali membenamkan hidungnya di antara halaman-halaman bukunya.

Dalam beberapa tahun lagi, aku pasti bisa membalas ejekannya tadi dengan sengit, tapi hari itu atau lebih tepatnya saat ini aku belum berani. Aku masih begitu senangnya melihat musim panas yang terbentang di hadapanku, yang akan kuhabiskan di pantai cantic itu, dan aku tak kepingin bertengkar dengan orang pertama yang kutemui setelah keluar dari rumah.

Kubayangkan ibuku sedang sibuk menyuruh-nyuruh para pelayan untuk membereskan barang-barang bawaan kami, tapi aku tidak mau menghabiskan sepanjang sore dengan cara itu! Aku sudah menemukan gerbang kecil di belakang taman. Aku membukanya, dan dari sana aku menyusuri jalanan kecil yang meliuk-liuk di kota tua itu, ke atas tanjung, menuju tembok benteng.

Anak lelaki itu adalah orang pertama yang kutemui. Aku tak tahu apa pun tentangnya, kecuali bahwa dia benar-benar tidak sopan, dan berbicara dalam Bahasa Melayu yang tidak begitu fasih dan berlogat orang Belanda. Jadi, aku pun memutuskan untuk tidak mengacuhkannya.

Aku bergerak mendekati pinggiran benteng itu dan memandang ke bawah. Garis pasir putih terbentang tak beraturan, hampir tampak seperti ingin memeluk birunya air laut. Aku mengamati pelabuhan kecil, tanjung, dan dua pulau besar di ujungnya, yang berjarak tak lebih dari serratus meter dari pinggir laut.

Saat aku berbalik, barulah aku menyadari ada sebuah patung di atas tumpuan itu, tak seberapa jauh dari tempat kami berada.

“Sultan Hasanudin” bisikku, dengan lidah berdecap.

Ternyata itulah dia.

“Dia seorang pahlawan daerah” kataku lantang sambal mengamat-amati patung itu.

Aku lalu melompat ke pinggir tembok dan duduk di atasnya. Bisa kudengar bunyi debur ombak di belakangku, dan kekosongan yang diakibatkan oleh ketinggian benteng itu terasa benar-benar memabukkan.

“Dia seorang pejuang yang sangat gigih” katanya, memperbaiki ucapanku.

Dia membalikkan satu halaman bukunya, lalu melanjutkan “Lahir di Gowa, sebuah daerah tak jauh dari sini, atau lebih tepatnya di kota ini juga, karena dulu ini juga merupakan daerah Kerajaan Gowa, tahun 1631, dia merupakan anak kedua dari empat bersaudara”

Aku membiarkan kedua kakiku terayun-ayun di bawah, pura-pura tidak lagi mendengarkannya. Dia pun berhenti bicara dan pura-pura membaca.

Kami terus begitu saja selama beberapa menit. Tetapi kemudian, aku mengagetkannya saat dia mengamat-amatiku dari balik bukunya.

Aku sangat ingin tertawa, dan aku pun melakukannya.

“Kenapa, sih? Apanya yang lucu?” tanyanya padaku.

“Aku tertawa karena kau sedang mengawasiku”

“Itu tidak benar” katanya berbohong.

“Memang begitu, kok. Kau mengintipku dari balik bukumu”

“Huh!” dengusnya, mencari-cari posisi yang paling nyaman di tempat duduknya yang diselimuti tumbuhan menjalar.

“Ngomong-ngomong, namaku Katia” ujarku riang. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain tertawa, memandang patung orang yang sedang menunggangi kuda dan memegang pedang itu, serta memikirkan hal-hal konyol yang tadi sudah dikatakan anak lelaki ini. Pahlawan, pejuang, bla bla bla... omong kosong khas anak lelaki.

“Dan kau? Kau punya nama?”

“Malah punya tiga: Ludwig Willem van Dekker” jawabnya sinis. “Tapi semua orang memanggilku Ludwig atau pun Willem saja...kurasa Dekker terlalu eksentrik untuk mereka ucapkan!”

Suasana kemudian menjadi hening sejenak, bahkan bagiku rasa hening ini terjadi cukup lama. Akhirnya aku berkata: “Huh, menurutku mereka salah! Ludwig atau pun Willem itu nama yang sudah umum...Dekker lebih cocok buatmu!”

“Kalau menurutmu begitu...”

“Memang begitu menurutku. Malahan aku sudah memutuskan: buatku kau adalah Dekker!”

Anak lelaki itu hanya mengangkat bahunya.

“Terserah kau saja. Lagi pula, itu kan cuma nama...”

Aku lalu menambahkan: “Apa kau sudah berbulan-bulan tinggal di Ujung Pandang dengan saudara-saudaramu?”

Dia tampak terkejut.

“Tadi kau bilang kemampuan mengamatiku payah, kan?” kataku sambil menunjuk ke arah patung itu. “Mungkin kau benar. Tapi aku tahu kau bukan orang dari daerah sini, karena kita mengobrol dengan bahasa Indonesia dan logatmu terlalu sempurna, jadi tak mungkin kau mempelajarinya di sekolah di sekolah. Lalu...pakaianmu tidak seperti pakaian orang di desa dekat laut, jadi kupikir kau tinggal di kota sudah agak lama. Raut mukamu keruh, seperti orang yang baru saja bertengkar dengan seseorang, atau yang baru kabur dari rumah, seperti aku. Selain itu, jaketmu kusut, satu kancingnya hilang, dan saat kau bercerita tentang keempat saudara si pejuang itu, mataku kau tampak kurang bersemangat, jadi aku pun menyimpulkan...anak lelaki ini baru saja bertengkar dengan saudaranya” Aku menghirup napas panjang. “Berapa yang benar dari tebakanku tadi?”

Mata Dekker benar-benar terlihat kaget. Tatapan itu sangat berbeda dari tatapan dingin seorang genius yang beberapa tahun kemudian dikenal semua orang, saat anak lelaki ini sudah menjelma menjadi detektif terhebat di seluruh dunia.

Dia menutup bukunya, dan dalam hatiku aku tersenyum simpul.

Tampaknya aku sudah berhasil menyedot perhatiannya.

“Kau bicara dalam Bahasa Indonesia, tapi kau juga bukan orang Indonesia” tuturnya.

“Aku orang Perancis” jawabku cepat-cepat, memupus kesempatannya untuk menduga-duga.

“Tapi kau sejak kecil tinggal di Batavia”

“Betul sekali” Aku bertanya-tanya bagaimana mungkin dia tahu itu. Aku mengenakan gaun pendek, sepatu, dan kaus kaki putih, yang tak satu pun menunjukkan ciri khas orang Batavia. Orang Venetie ataupun orang Bali juga hampir persis pakaiannya denganku. “Memangnya kelihatan, ya?”

Dekker terkekeh.

“Tidak, tidak sama sekali. Aku Cuma menebak-nebak saja. Tapi...kau tidak mengenakan sepatu yang cocok untuk berjalan-jalan di pantai atau gunung...jadi kau pasti baru sampai disini. Tadi kau bilang sudah kabur dari rumah, jadi kusimpulkan kau tidak sedang berjalan-jalan. Tapi kau terlihat takut, seperti orang yang baru kabur karena takut akan sesuatu. Jadi, kau pasti kabur karena alasan lain. Bisa jadi kau ada di desa ini untuk berlibur bersama orang tuamu”

Suaranya kalem, menenangkan, hampir-hampir terdengar merdu.

Aku melanjutkan permainan.

“Apa kau punya saudara perempuan?”

Willem van Dekker berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Tidak”

“Kalau saudara laki-laki?”

“Sudah kupikirkan tadi. Dari caramu berbicara padaku, rasanya ya, dan kau memiliki saudara laki-laki”

“Salah, Dekker”

“Kau anak tunggal”

“Aha” Aku mengayun-ayunkan kakiku. “Kau ternyata sangat pintar. Kau sudah menebak hampir semuanya, kecuali tentang keberadaan orangtuaku, soalnya hanya ada ibuku saja….”

“Oh, maafkan aku” Dekker buru-buru minta maaf. “Aku tidak bermaksud…”

“Bukan begitu! Memangnya pikirmu apa? Ayahku baik-baik saja, hanya dia tidak ikut ke sini bersama kami. Dia harus bekerja. Pekerjaannya di bidang perkeretaapian. Tapi dialah yang memilih tempat ini. Kami datang bertiga: aku, ibuku, dan…Tuan William”

Aku memandang jalanan kecil tempat aku datang tadi sambal membayangkan kepala pelayan keluargaku tiba saat itu juga, dengan tersengal-sengal dan cemas, seperti biasanya.

Aku tak menyadari bayangan mendung yang menyapu tatapan Dekker saat aku bercerita padanya tentang ayahku. Aku takt ahu bahwa sebenarnya ayahnya telah meninggalkannya sekitar 8 tahun silam.

“Apa yang sedang kau baca?”

Dia mengecek sampul depan bukunya, seolah sudah lupa judulnya.

Max Havelaar-sejarah atau lebih tepatnya lagi cerita tentang orang-orang Indonesia dan juga segala perjuangannya….karangan Multatuli yang nama aslinya Douwes Dekker” entah kenapa ketika ia menyebutkan nama yang terakhir ia begitu ditekan seolah ia bangga bisa jadi dalam sejarah tersebut.

“Ceritanya menarik?”

“Oh, ya. Sangat”

“Kau mau, tidak?”

“Mau apa?”

“Jadi pahlawan atau apalah gitu yang sangat heroik”

Dekker terkekeh sebelum menjawab. “Sejujurnya belum pernah terlintas di benakku, aku hanya berpikir bagaimana menjadi diriku sendiri”

“Kalau aku mau. Dan pasti aku akan bisa menjadi pahlawan yang hebat yang berada di baris terdepan dalam pertempuran. Atau sebutannya pahlawan wanita, ya?”

“Bisa jadi. Meskipun memang tak banyak pahlawan wanita yang mungkin berada di baris terdepan”

“Payah! Tapi aku akan menjadi salah satunya. Akan kuatur strategi perang yang sangat jitu, dan aku akan bisa memenangkan banyak pertempuran dengan taktik jitu. Hei! Kalian bergerak kearah sana dan jaga di pos situ! Tembak!”

Dekker mencibir geli.

Saat itulah aku mendengar suara Tuan William. Dia masih jauh, dan suaranya bergaung di antara jalan-jalan kecil desa itu. Dia terus-menerus memanggil namaku: “Nona Everdeen! Nona Everdeen!”

Betapa memalukan, pikirku. Benar-benar cara yang tepat untuk memperkenalkan diri di sebuah tempat baru.

Teman baruku itu sedang mengamat-amatiku, mempelajari reaksiku.

Aku melompat turun dari atas tembok. Kupandangi pelabuhan, lautan, dan salah satu pulau besar yang berjarak hanya ratusan meter dari tanjung itu. Sejenak aku membayangkan pulau itu adalah pulau hasil penaklukan dari musuh dan tertancap bendera negaraku yang berkibar-kibar.

“Kurasa aku benar-benar harus kabur, Dekker…” tukasku. “Tuan William, kepala pelayan keluargaku, akan tiba di sini sebentar lagi”

“Kabur?”

“Kabur. Telingamu masih sehat, kan? Aku tak mau dia membawaku pulang ke rumah”

“Kedengarannya dia khawatir”

“tidak. Ibuku yang menyuruhnya. Tidak peduli aku pulang sekarang bersamanya, atau pulang nanti saat makan malam, aku pasti tetap akan dimarahi. Jadi, lebih baik sekalian saja aku pulang nanti saat makan malam saja, dan lebih baik kau bisa mengertinya” entah kenapa aku berharap dia dapat mengertiku.

“Aku bisa mengerti”

Aku berjalan kea rah tangga batu yang menurun dari benteng menuju pantai.

“Lagi pula…” tukasku, sambil berlagak hendak menuruni tangga, “aku tak mau menghabiskan sisa sore ini dengan membereskan pakaian dalam dan baju-baju di lemari…atau lebih buruk lagi, main kartu”

“Mengerikan!” komentarnya, tak jelas apakah dimaksudkan untuk baju atau kartu.

Tentu saja itu Cuma alasanku. Aku hanya berpura-pura padanya, sebab yang membereskan baju-baju ialah para pelayan, dan ibuku tidak bermain kartu. Tetapi Dekker tentu saja tidak mengetahui itu.

“Nona Everdeen!” teriak Tuan William kini bergema, begitu dekat.

Aku meletakkan kedua tanganku di pinggang “Bagaiman, Dekker? Kau mau melakukan apa? Tetap membaca bukumu atau…membantuku kabur?”

Dekker berpikir sejenak, lalu melipat buku pejuang itu setelah menyelipkan secarik kain di dalamnya.

“Ke sebelah sini…” usulnya.

Dia berhenti di depan sebuah jalan yang amat sempit, sampai-sampai terlihat seperti celah di antara batu karang, lalu menunjukkan jalannya padauk. Tangan kami tak sengaja bersentuhan, dan dia cepat-cepat menariknya lagi, seolah tangannya habis terpercik api. Dia lalu tak mengacuhkanku dan berjalan dalam keheningan, membuat waktu terasa bergulir amat lama.

Dekker berjalan cepat dengan langkah-langkah panjang. Aku mengikutinya dengan penasaran, sesekali tergelincir di antara jalan setapak dan anak-anak tangga yang turun ke laut kami pun tiba di dasar benteng dan mulai menyusurinya ke arah pelabuhan.

“Kemana kita pergi?” tanyaku sambal menarik tubuhnya ke belakang.

“Ke rumah temanku” Dia tinggi, sangat kurus, dan jaket katunnya bergesekan dengan tulang belakangnya yang menonjol.

Setiap kali dia berhenti, dia melengkungkan tubuhnya dan membungkuk, seolah mencoba untuk bersembunyi. Tetapi segera setelah dia berjalan lagi, punggungnya lurus bagaikan layar.

“Apa yang dikerjakan temanmu?”

“Dia punya perahu kecil. Bukan miliknya, tapi milik ayahnya. Tapi…biasanya kami bisa memakainya”

“Perahu?”

“Sangat kecil”

“Dan kau ingin memakainya untuk pergi…ke laut?”

“Biasanya memang itulah fungsi perahu”

Aku tak bisa percaya. Aku baru saja tiba di kota ini, tapi aku bukan hanya sudah mengenal seorang anak laki-laki, melainkan juga sudah diajak berperahu olehnya.

“Wah…asyik sekali!” pekikku girang.

Jadi begitulah, Ludwig van Dekker membawaku ke palabuhan kecil untuk berkenalan dengan kawan misteriusnya itu. Jika aku harus menunjukkan kapan tepatnya seluruh bencana kami dimulai, nah, kurasa itulah saatnya.
Read more
Monday, 6 February 2017
Wisteria

# Tiga Sekawan
Kurasa aku bukanlah satu-satunya teman wanita yang pernah ada di hidup seorang yang bertahun-tahun kemudian dikenal sebagai seorang pemikir dan pengamat yang paling jenius di dunia, Ludwig(Willem) van Dekker, tapi tak ada yang bisa menyangkal bahwa aku adalah teman wanita yang pertama dan paling “spesial” dalam hidupnya. Tetapi, sewaktu kami pertama kali berkenalan, dia belum menjadi seorang pemikir paling jenius, apalagi terkenal. Waktu itu aku masih berumur empat belas tahun dan umurnya sedikit di atasku.
Ketika itu sedang musim panas, karena memang kami tinggal di daerah tropis.
Tepatnya, pada 30 Juni.
Aku masih ingat betul saat pertama kali bertemu dengannya. Dia sedang duduk di sudut benteng, di antara dinding-dindingnya yang terbuat dari batu, dan punggungnya bersandar pada tumbuhan yang menjalar tepat dari atas dinding. Di belakangnya hanya ada laut membentang, biru tua dan bergelora. Juga ada banyak burung camar berterbangan di langit, berputar perlahan-lahan
Kawanku itu melipat kedua lututnya di bawah dagu. Dia sedang asyik tenggelam dalam buku yang sedang dibacanya, seolah bacaannya itu menentukan nasib seluruh dunia, dan mungkin dia berpikir dialah sang penyelamat dunia itu.
Kurasa dia tak akan pernah menyadari kehadiranku dan kami tak akan pernah berkenalan selamanya, jika saja konsentrasi penuhnya itu tidak begitu menggelitik rasa penasaranku, dan jika saja aku tidak berani menghampiri untuk menganggunya, atau lebih tepatnya “ingin mencari perhatiannya”.
Aku baru saja tiba di Ujung Pandang, jadi aku bertanya padanya apakah dia tinggal di sini.
Dia menjawab tanpa mengalihkan tatapan dari bukunya itu.
“Tidak” jawabnya,”Aku tinggal di sebuah rumah, di Jalan von Bekker, nomor 46”
Bocah ini tak punya selera humor! Tentu saja dia tidak tinggal di puncak sebuah benteng di atas laut!
Oke, kau menang, batinku pada situasi seperti ini.
Aku pun paham bahwa persaingan diantara kami berdua baru saja dimulai.
Aku hanyalah orang luar.
Aku tiba di Ujung Pandang setelah melewati perjalanan panjang dengan sebuah kapal layar mewah dari Batavia. Kami sedang berlibur, dan menghabiskan seluruh liburan di Ujung Pandang adalah ide ibuku.
Aku tidak hanya senang kepalang, tapi juga amat bersemangat. Memang sebelumnya aku sering melihat lautan dan pantai, karena aku sering menemani ayahku pergi ke dermaga di Batavia. Tapi inilah kali pertama aku ke pantai yang begitu eksotik, yang menjadi tujuan wisata. Bisa dibilang, dalam hidupku, aku hanya sekitar satu atau dua kali pergi ke pantai yang menjadi tujuan wisata. Aku mendapat kesempatan itu saat, ayahku ada pergi ke Venetie untuk kunjungan kerja, dan ketika aku diajak ayahku berlibur di Bali. Sebenarnya Ayahku dan Ibuku bilang aku masih terlalu kecil untuk mengingat keindahan pantai itu, tapi aku ingat betul pantai yang indah itu. Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Jadi, ide menghabiskan seluruh libur musim panas tahun 1888 di sebuah desa dekat laut dengan pantainya yang indah pun begitu menakjubkan buatku. Aku juga bakal menurut saja pada nasihat ayahku yang selalu berkata “Tinggallah di sana lebih lama, kalau kalian mau. Kalian tidak harus kembali lagi ke Batavia!”
Sesungguhnya ibuku lebih suka tinggal di kota besar, dan setelah musim panas itu, aku harus kembali ke sekolah...Ya sekolah disini tetap memakai sistem libur musim panas, padahal disini hanya ada dua musim saja, jika saja libur musim panas ini tak pernah terjadi. Libur musim panas itu mengubah hidupku, benar-benar mengubah seluruh hidupku.
Perjalanannya begitu menyiksa. Ini bukan gara-gara kapal layar mewah yang sudah disewa ayahku tanpa mempertimbangkan harganya, seperti biasa dilakukannya jika itu demi kebaikanku atau ibuku. Kapal layar ini benar-benar mewah bagaikan kapal para bangsawan:dengan empat layar yang terkembang dengan gagahnya, seorang nahkoda bertopi silinder serta beberapa awak kapal lainnya, dan ruang “penumpang” yang berisi kursi-kursi yang dihiasi bantal-bantal bersalut sutra China. Jika aku perkirakan luas kapal ini hampir setara dengan luas dari lapangan bola, benar-benar sesuatu yang sangat tidak diperhitungkan hanya untuk perjalalanan “keluarga kecil” ini.
Tetapi, menempuh beberapa hari berlayar dibawah pengawasan ketat ibuku dan Tuan William yang terus mengawasiku diruang penumpang tanpa boleh jalan-jalan ke buritan ataupun geledak kapal, benar-benar terasa berabad-abad lamanya.
Richard William adalah kepala pelayan berkulit hitam di rumah Keluarga Everdeen. Dia jangkung, sangat pendiam, dan sangat khawatir pada apa pun yang bisa saja kuperbuat. Sebagian besar para pelayan di rumah kami sudah berangkat beberapa minggu sebelumnya untuk menyiapkan rumah yang akan kami tinggali selama musim panas, dan Tuan William adalah satu-satunya yang masih bersama kami.
Matanya tak pernah lepas mengawasiku.
Setiap kali ada kesempatan, dia selalu bilang: “Mungkin tidak seharusnya begitu, Nona Everdeen”
“Mungkin tidak seharusnya begitu” selalu itu-itu saja yang dikatakannya.
Mungkin karena itulah, saat ada kesempatan, aku segera meloloskan diri darinya untuk melewati jalan setapak yang berangin, menuju benteng yang dikemudian hari dikenal sebagai Benteng Rotterdam.
Rumah liburan kami ialah sebuah vila kecil berlantai dua. Vila itu kecil, tapi sangat asri, dengan jendela loteng yang luas di atapnya dan dilengkapi jendela-jendela yang disebut orang Inggris sebagai bow-window, jendela melengkung, dan yang sewaktu masih kecil selalu kusebut jendela-jendela buncit.
Ada serumpun wisteria dan banyak sekali tumbuhan menjalar yang menutupi permukaannya. Ibuku berkata: “Oh, ya ampun, pasti itu penuh binatang liar” dan butuh waktu agak lama sebelum aku mengerti apa yang dimaksud ibuku.
Aku memahaminya beberapa hari kemudian saat aku lupa menutup jendela kamarku, dan keesokannya aku menemukan seekor ular sedang merayap di lantai.
“Mungkin tidak seharusnya begitu; Nona tidak boleh membiarkan jendela kamar terbuka sepanjang malam” Tuan William menegurku tegas saat dia memasuki ruangan.
Kemudian, dia mengambil tongkat perapian dan aku pun menjerit “Jangan berani-berani melakukannya, Tuan Richard William!”
Jadi, dia pun menghela napas, menaruh kembali tongkat itu, dan menyambar ekor ular tadi seraya berkata, “Setidaknya izinkan saya mengembalikan tamu Anda ke taman”
William memang seorang yang kaku, tetapi kadangkadang dia bisa juga membuatku tertawa.
Sesaat setelah dia keluar dari kamarku bersama “tamuku” yang merayap tadi, pintu lemari sekonyong-konyong terbuka, dan dari dalamnya muncul sebuah wajah cerdas seorang bocah laki-laki.
Dialah teman keduaku di liburan musim panas yang panjang ini.
Namanya Daeng Lama, seperti nama si “laba-laba hitam” di malam hari yang terkenal dan terpandang masyhur itu. Namun, selama hari-hari itu dia belum memulai karier gemilangnya dalam bidang “peraktingan” internasional. Dialah orang yang harus bertanggung-jawab atas aksi-aksinya beberapa tahun ke depan. Tapi, waktu itu ia belum menjadi seorang yang terpandang sewaktu umurnya masih beberapa tahun diatasku dan beberapa tahun di bawah Ludwig van Dekker.
Setelah mengenal nama teman-temanku tadi, kini bisa kalian bayangkan betapa menariknya pengalaman yang aku dapatkan di liburan musim panas ini. Banyak hal yang layak untuk dikenang.
Nah, lebih baik aku memulainya dari awal saja.

Read more
Friday, 16 December 2016
Cerbung - #Prolog (De Javu)

Rasa yang pernah aku rasakan, tepatnya 3 tahun yang lalu terulang lagi, De Javu. Rasa cemas. Khawatir. Takut. Penuh dengan perencanaan yang baru, bercampur menjadi satu. Padahal ini adalah tahun ketigaku di pesantren, tapi tahun ini aku merasa seperti baru pertama kali masuk pesantren. Sekolah kelas 9 tapi rasa kelas 7. Pikiranku benar-benar kembali seperti anak kelas 7. Dalam perjalanan dari rumahku di daerah Banyumas menuju pesantrenku yang ada di daerah Tangerang. Hal-hal yang membuat diriku berat untukku kembali memsuki pesantren terus berdesakkan dalam perasaanky. Bayangan betapa sejuknya suasana rumahku yang berada di kaki Gunung Slamet dengan air panasnya yang bisa menyembuhkan. Bayangan akan semua teman-temanku di Purwokerto yang telah memberikan banyak warna dalam hidupku ini dan juga bayangan akan segala cita-citaku. Perkenalkan namaku Rahardian Faza Haryanto biasa dipanggil Faza ataupun Dian, tapi aku lebih senang dipanggil Faza. Aku berasal dari daerah Banyumas atau orang lebih mengenalnya Purwokerto. Jadi akan aku luruskan dulu tentang daerahku ini. Banyumas adalah kabupatennya sementara Purwokerto adalah kotanya sedangkan tempat tinggalku diperbatasan antara Kabupaten Banyumas dan Kota Purwokerto. Jadi bisa dibilang aku berasal dari kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas. Sama saja seperti orang bilang tinggal di Jakarta tapi sebenarnya tinggalnya di Bekasi. Aku adalah anak pertama dan satu-satunya dalam keluarga dan juga cucu ke 7 dalam keluarga besar. dan sekarang aku lagi dalam perjalanan menuju pesantren "tercinta", "Pondok Ar Rayyan" namanya. Ini adalah tahun ketigaku berada dipondok tersebut. Tapi sekali lagi, aku seperti baru akan masuk pondok di tahun pertama. Ya, memang wajar seperti itu, karena satu semester sudah aku berada di rumah untuk "pemulihan". Pemulihan dari sebuah kejadian yang sekarang membuatku dipandang "lain" oleh orang. Dan satu-satunya pembeda dengan tahun pertama masuk adalah kejadian itu. Kejadian yang telah membuatku bisa menulis sebuah buku.
Read more
Sunday, 11 December 2016
The Old Legend part 6

#Permaisuri Marja
“Semoga saja saudaraku tersebut bisa memecahkan masalah ini dengan benar” aku memang berharap seperti itu. Meninggalkan Luvius dan kedua saudara yang belum aku mengenalnya selama lebih dari 10 tahun, memang membuatku hidupku begitu berubah. Sekarang ini, aku hidup dengan sangat kecukupan, bahkan aku tinggal menyebutkannya, maka niscaya akan segera dikabulkan.
            Keparat Han telah membawaku kepada Raja Astrilus penguasa Trabzzor yang sangat terkenal dan kaya raya, tapi penuh dengan kehampaan. Kekayaan ini terasa tak ada artinya bagiku. Walaupun aku adalah seorang permaisurinya yang selalu melayani sang raja dengan penuh senyuman dan kebahagian agar sang raja juga merasakan kebahagian. Tapi, sesungguhnya aku sangat merindukan kehidupanku yang dulu, penuh dengan kebersamaan, kekeluargaan, walaupun dengan segala kekurangannya.
            Sementara Han adalah kaki tangan dari Raja Astrilus. Raja Astrilus memang terkenal sangat kejam dan lalim, ia bahkan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Setiap hari pasti ia menyuruh Han untuk membunuh setidaknya 5 orang warganya yang ada di daerah Trabzzor. Astrilus juga didampingi oleh Kreta, penasihat sekaligus orang yang paling berjasa dalam hidup Astrilus atau bahkan bisa dibilang juga Astrilus adalah bonekanya Kreta.
            “Tapi memang kamu yakin saudaramu itu mampu melumpuhkan Raja Astrilus?” tanya sahabatku dalam istana Raja Astrilus. Coucou namanya, ia juga seorang pembantu Raja yang menyediakan segala macam perlengkapan makan Raja. Hampir selama 7 tahun aku telah bersahabat dengan Coucou yang bagiku adalah tempat untuk ,enceritakan segala yang sedang membebani kepalaku.
            Kenapa Coucou bisa jadi “pesuruh” Raja? Kurang lebih kisah Coucou denganku hampir sama, bahkan sama. Membuat sebuah perjanjian demi menyenangkan orang tercinta untuk terakhir kali. Dan bisa dibilang Coucou adalah satu-satunya sahabat bahkan teman yang aku punya di dunia ini.

            “Aku sudah sangat mengenal karakter dan sifat dari Luvius, dan sepertinya kedua adiknya juga sama seperti itu.”
Read more
Sunday, 4 December 2016
The Old Legend part 5

          
  #Quintis dan Rye
“Ternyata kau belum menyerah juga, kuat juga ternyata kau” entah pujian atau pun ancaman, yang jelas, si muka hiu, sebutanku untuk Han, semakin menggila menghabisi kami bertiga yang terikat dengan rapi di sebuah kursi kecil. Hampir-hampir kami tak bisa bergerak, kecuali dengan menjatuhkan diri ke lantai. Aku tak ingin kejadian ini terulang untuk kedua kalinya. Tapi, di otakku terus berpikir, “Bagaimana menghabisi ketiga keparat ini”.
            “Oke cukup, Quintis, Rye, ayo kita istirahat dulu, menghabisi ketiga bocah setan ini membuatku lelah, lagipula kita ada sebuah misi yang sangat dinanti-nanti, menghabisi seorang gadis muda yang telah berpisah lama dan kita rebut kekuasaannya” Sial, si muka hiu mengeluarkan seringainya yang sangat jelek. Aku yakin kalau dia ikut casting acara opera, pasti ia hanya ditertawakan dan dibuang jauh-jauh dari opera dan disuruh jangan mendekat opera lagi.
            “Memang siapa gadis muda itu? Apakah si Marja” bisik Rye ketika keluar dari pintu tempat “penyiksaan” aku dan kedua saudaraku. “Iya lah siapa lagi” jawab Quintis. Bodoh memang kedua keparat yang baru aku tahu nama aslinya, Quintis dan Rye. Maksud hati mereka ingin berbisik agar aku dan kedua saudaraku tak tahu, tapi mereka malah “berbisik” tak tahu aturan. “Hust, diam jangan keras-keras ngomongnya” itulah kata-kata Han yang bisa aku dengar ketika ia menutup pintu.
            “Kak, mereka akan menghabisi kak Marja, apa yang akan kita lakukan?” pertanyaan polos itu keluar dari mulut HJK. Memang, ia memiliki sifat ksatria sejati.
            “Hei, HJK, kau tak tahu apa kalau sekarang kita lagi terperangkap dalam ruangan yang pengap ini!” Korce menimpali pertanyaan HJK dengan sinis mungkin lebih tepatnya ia berpikir realistis dengan keadaan sekarang. Aku yakin pernyataan Korce tak membuat HJK patah semangat.
            “Luvius, kau masih kuat atau tidak?” ternyata Korce berbisik kepadaku.
            “Masih, memang kenapa?” semoga jawabanku ini membuat Korce senang dan mulai menjelaskan rencananya. Karena aku tahu, Korce selalu punya ide-ide yang brilian.
            “Oke, bagus, dari tadi aku lihat dibawahmu itu ada pisau....” sebelum Korce menyelesaikan kalimatnya, aku langsung menjatuhkan kursiku dan meraih pisau itu dengan mulutku. Korce yang agak terkejut karena aku langsung bergerak tanpa mendengarkan penjelasannya lebih lanjut, juga tanpa komando lagi menjatuhkan kursinya untuk aku lepaskan ikatannya dengan pisau yang aku gigit.
            Baru beberapa detik, pintu terbuka.
            Sesosok orang muncul dari cahaya luar ruangan penyiksaan. Agak kecil orang tersebut, bentuk tubuhnya tak kelihatan karena ia menggunakan jubah. Wajahnya sama sekali tak kelihatan. Dia diam sejenak setelah membuka pintu.
            Perasaan tegang mulai menjalar di hati Luvius. Korce yang semula tak sadar kalau ada orang yang masuk, juga mulai panik. HJK hanya bisa berdoa. Orang berjubah tersebut kemudian berjalan menujuku dan mengambil pisau yang berada digigitanku. Tak ada perkataan yang keluar dari mulut orang berjubah itu, bahkan helaan nafasnya tak terdengar. Semua begitu rapi. HJK yang berulang kali memanjatkan doa agar bisa lolos dari orang tersebut, hanya dalam waktu beberapa detik berubah menjadi heran akan rapinya orang berjubah tersebut melepaskan dirinya dari ikatan yang mengikat dirinya dan juga kedua saudaranya.
            “Lanjutkan! Tak usah pikirkan keadaanku! Aku akan baik-baik saja! Jaga diri kalian, saudaraku!” ucapan yang begitu singkat dan penuh dengan misterius. Sosok berjubah itu kemudian menghilang dengan begitu cepat, secepat ia melepaskan ikatan kami.
            Sejenak, aku berpikir, kenapa ia mengucapkan kalimat seperti itu?
            Tapi kesempatan bisa melepaskan diri tak kami sia-siakan. Saat orang berjubah itu menghilang, kami langsung keluar melewati pintu yang terbuka. Rumah yang sangat aku kenal. Lukisan bunda maria yang sedang menggendong yesus dengan pigura ukir yang sangat rumit ritmenya berwarna cokelat dan sebuah set meja hias dengan vas bunga, yang aku yakin itu hanya bunga imitasi, telah membuatku ke dalam de javu jaman dulu.
            Walaupun ini merupakan ruang bawah tanah, tapi menurutku ini sangat artistik untuk sebuah tempat penyimpanan. Aku yakin, si muka hiu itu sangat berhasrat pada seni atau mungkin dia hanya ingin mencuci uang hasil “merampoknya”.
            “Kak, kita mau kemana?” HJK berbisik kepadaku, aku paham bahwa HJK masih membutuhkan banyak arahan.
            “Kita sekarang ingin menyelamatkan kakak kita semua, oke?” ternyata Korce ikut menyambung, dia sebagai kakak HJK juga, rupanya telah tumbuh lebih dewasa lewat kejadian ini. Tapi satu hal yang masih aku herankan, dari mana Korce langsung tahu kalau orang yang berjubah itu adalah kakaknya yang lain? Aku cermati lagi bayangan orang berjubah tadi dalam pikiranku, setiap detil gerakannya aku amati. Dan lebih dalam aku mengamatinya, aku seperti setuju dengan pernyataan Korce yang menyebut “dia” sebagai kakaknya. Setidaknya aku jadi lebih paham akan kemampuan Korce yang lain, Menganalisis perkataan hanya dalam waktu sekejap mata dan tepat.
            “Memang kita punya kakak lagi selain kak Luvius?” pertanyaan polos dari HJK ini membuatku percaya bahwa Korce bisa menjawabnya dengan penuh kedewasaan. Karena memang aku pernah membicarakan hal ini kepada Korce.
            Benar saja, ternyata si muka hiu itu mencuci uang hasil “merampok” negara dengan cara membeli lukisan di pelelangan dengan harga yang sangat tinggi. Hampir di setiap sudut tembok saat menaiki tangga, di penuhi dengan lukisan antik nan langka. Kami semua sangat mengagumi selera seni dia, dan sangat membeci yang ia telah lakukan pada kami.
            “Kakak kenapa tidak menjawab pertanyaanku?” ternyata HJK ingin mengetahuinya lebih dalam. Aku memang berharap Korce bisa menjawab, aku menyikutnya yang sedang takzim dengan lukisan pemandangan di ujung tangga.
            “Jadi sebenarnya itu adalah lukisan yang sangat mahal karena dibuat dengan detail yang sangat unik” ternyata Korce masih berada dalam alam yang lain. Aku sikut sekali lagi. “Eh, maaf, ya jadi sebenarnya kita punya kakak lagi selain kak Luvius yaitu kak Marja”
            Saat Korce menyebutkan nama itu, mataku langsung tertuju pada lukisan seorang gadis mengenakan baju putih dengan garis merah muda di lengan, rok dengan motif merah jambu juga, serta kerudung yang berwarna merah jambu juga dengan rambut berwarna pirang yang keluar dari kerudung. Lukisan itu berada jelas di depan mataku, terletak di sebelah tangga menaiki lantai dua. Memang ruangan utama rumah tersebut sangat persis dengan pernah yang aku ingat sebelumnya, bahkan saat aku melihat ke sebuah lukisan keluarga yang berada di atas perapian, aku seperti tenggelam.
            Bayangan hitam itu serasa terekam jelas dalam ingatanku. Sosok berjubah itu adalah kenanganku masa lalu, dialah pelitaku, dialah yang membuatku terasa berguna dan berarti, dialah Marja. Dan ini, adalah rumah keluarga kami, keluarga kecil yang bahagia. Rumah yang bercat putih yang melambangkan kesucian dalam kebahagiaan, begitulah kata ayahku. Tapi apa hubungannya Marja dengan Han, Quintis, dan Rye?
            Benar tak salah lagi, ini adalah rumah kami, Keluarga Nuryono. Tempat perapian yang masih sangat aku ingat ketika aku dan Marja berebut mainan dan menumpahkan susu yang padahal kami sangat jarang sekali membeli susu karena keterbatasan ekonomi kami. Memang saat itu susu merupakan barang paling mewah dan tak semua orang bisa membelinya. Tapi, kami hidup dengan kehangatan dan kebahagiaan dalam keluarga.
            “Luvius kau tidak apa-apa?” periksa Korce. Rupanya sikapku yang begitu terkejut, membuatku seolah terkena penyakit skizofernia yang akut, bahkan perkataan dari Korce pun nyaris membuatku takut akannya.
            “Luvius, ingat kita harus segera keluar dari sini, aku agak sedikit khawatir orang berjubah itu merupakan trik si Han” Korce kembali menunjukkan kedewasaan dia dalam berpikir. De Javu ini benar-benar membuatku seolah anak kecil yang harus dituntun setiap langkahnya.
            Aku tak menjawab pertanyaan Korce. Hanya acungan jempol dan anggukan kepala tanda aku baik-baik saja dan bersiap untuk berjalanan berikutnya. “Eh, kak, kita tidak makan dulu atau setidaknya bawa persedian makanan, hanya untuk berjaga saja” HJK kali ini yang angkat suara saat kami hendak membuka pintu masuk rumah. Aku dan Korce bertatapan beberapa saat.
            Tak ingin seperti orang skizofernia atau phobia akan sesuatu, sekarang aku yang mengambil keputusan. “HJK, lebih baik kamu sekarang ke dapur dan makanlah secukupnya, setelah itu bawalah untuk bekal, kakak akan berkeliling di rumah ini, kalau kau bagaimana Korce?” tawarku. Aku tak yakin Korce akan mengikuti diriku.

            “Aku akan menjaga HJK” jawab Korce. Entah ingin mengambil jalan aman ataupun memang ingin menjaga sang adik. Mungkin saja yang paling ditakutinya adalah jebakan yang ada dirumah ini, terutama didapur. Pilihan yang tepat menurutku.
Read more
Monday, 28 November 2016
The Old Legend part 4

#Sepeda Pertama dan Terakhir

“Kak, ayo kita main di luar!” suaranya begitu lembut dan sangat menggambarkan nada gembira dari seorang anak perempuan. Marja, namanya. Dia merupakan adikku, adik perempuanku yang paling aku sayangi. Marja membuat hidupku begitu berarti. Aku dan Marja memang tak begitu jauh selisihnya atau bisa dibilang aku dan Marja adalah anak kembar. Yang jelas aku lebih tua 11 menit dari Marja.
“Ah, kakak ngga seru nih!” ajakannya begitu kuat. “Kau tunggu saja di luar, kakak akan segera menyusul” pintaku, sebagai anak pertama, aku harus bisa mandiri. Saat-saat seperti ini, main dengan Marja, aku pasti membuat sesuatu yang berbeda dan membuat terkesan. Tapi, kali ini justru dia yang memeberi kejutan padaku.
“Ayo kak kita main sepedaan bareng, kakak pake sepeda yang itu!” pandanganku langsung mengarah ke sepeda tua itu. Begitu tua, tapi masih kuat, sepertinya ini adalah sepeda paling bagus pada zamannya, cocok denganku. Sementara Marja juga sama. Pikiranku langsung memastikan bahwa Marja minta dibelikan sepeda oleh ayah dan ibu dan juga membelikanku sepeda yang sesuai denganku atau bahkan dia minta dibelikan oleh paman. Ah, maklum anak perempuan, apapun yang diminta pasti hampir selalu dikabulkan.
Aku begitu menikmati saat-saat ini. Marja adalah pelita bagiku bahkan di keluargaku juga begitu. “Marja, ayo kita istirahat dulu dibawah pohon” kali ini aku mencoba untuk mengambil keputusan lebih dulu. “Yah, kakak, sudah mau istirahat aja, padahal lagi seru nih!” mukanya agak sedikit ditekuk, tapi aku yakin dia juga sebenarnya sudah sedikit kelelahan juga, hampir 30 menit kami bersepeda menaiki bukit, dan kami telah sampai di pohon puncak bukit.
“Coba kakak tebak, aku dapat sepeda ini dari siapa?” ternyata dia dulu yang memulai percakapan. “Pasti juga kamu dapat dari hasil meminta kamu sama ayah atau pun ibu? Atau bahkan dengan paman?” itulah yang sudah pikirkan dari tadi dari seorang anak manja bernama Marja. Dia hanya bersenyum tipis. Aku tak tahu lagi!
“Salah...... aku dapat dari seseorang yang baik banget” jawaban yang menimbulkan pertanyaan dibenakku.
Read more
Saturday, 26 November 2016
The Old Legend part 3

#psywar
Luviuslah yang pertama kali terjaga. Dalam bayangannya, ia melihat dirinya bersama kedua saudaranya dibawa oleh kedua orang  yang tak dikenal asal muasalnya. Mulutnya disekap dengan kain. Kaki dan tangan diikat juga dengan sehelai kain yang menurut perkiraan Luvius jika dibentangkan maka panjangnya hingga 2 meter. Mungkin kedua orang tersebut dulunya seorang pandu yang amat mengerti tentang tali temali. Setiap kali Luvius berontak, ikatan tali tersebut justru akan menjadi semakin kuat. Luvius lantas terdiam. Dia melihat kedua saudaranya dalam bayangan kain yang menutupi wajahnya. Amat kasihan kedua saudaranya, Korce dan HJK. Luvius mengira, mereka akan dibawa oleh kedua orang misterius ke tempat yang jauh dari peradaban. Lama kelamaan Luvius baru sadar bahwa mereka dibawa oleh kedua orang misterius ini didalam sebuah kereta barang. Benar-benar gelap dalam kereta tersebut, sehingga Luvius tak bisa mengirakan akan dibawa kemanakah mereka.

            Suara deruman mesin kereta barang perlahan berhenti. Sekilas cahaya mulai muncul dari celah-celah gerbong kereta. Perlahan cahaya itu mulai membesar dan terbukalah gerbong kereta tersebut. Kedua orang misterius muncul dengan perangainya yang khas, tampak licik dan amat berbahaya serta penuh dengan kemisteriusan. Luvius jelas nampak
Read more
Friday, 18 November 2016
The Old Legend part 2

#Kejutan di Siang Hari
           
“Korce, lagi-lagi kau harus turuti apa yang aku perintahkan oke” muka yang bersahabat itu muncul juga. Muka yang penuh dengan perasaan menganyomi layaknya seorang bapak kepada anaknya tercinta. “aku tidak marah, santai saja, asalkan ketika aku suruh, kau langsung turuti saja, contoh itu HJK, dia tanpa banyak bicara, langsung mengikuti apa yang aku suruh”. HJK nampak tersenyum melihat namanya dibandingkan dengan kakaknya.
            Korce lagi-lagi melipat mukanya, ia tak tahu harus ditaruh dimana mukanya tersebut. Sudah disindir, disudutkan, dibandingkan lagi. “ya, ya nanti aku tidak akan mengulanginya lagi”. HJK hanya tersenyum melihat Korce disudutkan oleh Luvius.
            Senyum persahabatan kembali terpancar dari muka Luvius, dia menegak beberapa tegukan minuman yang dia pesannya. Perjalanan jauh telah membuat 3 bersaudara ini kelelahan. “sebelum kita melanjutkan perjalanan, aku mau bercerita terlebih dahulu, oke, kalian pasti mau mendengarnya?”. Senyum-senyuman licik itu merupakan tawaran dari Luvius untuk kedua saudaranya. Korce masih saja terlihat
Read more
Saturday, 23 July 2016
The Old Legend



#Prolog
            Semua orang pasti tahu yang namanya legenda tua tersebut, tak bisa dipungkiri lagi. Secara fakta jelas, legenda tua tersebut lebih banyak dibincangkan oleh kebanyakan orang daripada aksi para petarung di arena pertarungan, bahkan tak kalah hebohnya dengan berita lengsernya suatu pemimpin Negara akibat skandal apa pun itu macamnya. Banyak orang tak habis pikir, kenapa legenda tua tersebut dapat terjadi, apakah itu hanyalah takdir yang sudah digariskan, atau bahkan telah di rencanakan sebelumnya. Tak banyak orang yang tahu tentang kebenarannya tersebut, tapi yang jelas, itu semua membuat kami tidak bisa hidup seperti kebanyakan orang.
            Ayah kami hampir tak pernah menemui kami atau lebih tepatnya lagi kami tak akan pernah bertemu dengan ayah kami. Sementara ibu kami, jangan harap dia bisa bersama dengan kami,
Read more