-->
Thursday, 23 March 2017
Wisteria #part 2


#Seni Melarikan Diri

“Kau menang!” kataku keras-keras. Aku bertolak pinggang dan menelengkan kepalaku sedikit, seperti yang sering dilakukan ibuku setiap kali dia ingin mendapatkan perhatian ayahku. Tetapi Ludwig van Dekker tampaknya benar-benar tak sudi membagi sedikit perhatiannya buatku.

“Apa yang sedang kau baca?” tanyaku.

“Buku”                          

“Kau membaca semua kata di dalamnya, atau hanya sebagian saja?”

Perkataanku yang ngotot tadi berhasil mengusiknya. Diselipkannya satu jari ke tengah-tengah buku itu sebagai penanda, dan dia pun berbalik. Tatapan garangnya menghunjam langsung ke mataku.

“Kau tahu siapa Sultan Hasanuddin?” tanyanya.

“Tidak”

“Ah” desahnya, “kemampuan pengamatan yang buruk”.

Setelah berkata begitu, dia pun kembali membenamkan hidungnya di antara halaman-halaman bukunya.

Dalam beberapa tahun lagi, aku pasti bisa membalas ejekannya tadi dengan sengit, tapi hari itu atau lebih tepatnya saat ini aku belum berani. Aku masih begitu senangnya melihat musim panas yang terbentang di hadapanku, yang akan kuhabiskan di pantai cantic itu, dan aku tak kepingin bertengkar dengan orang pertama yang kutemui setelah keluar dari rumah.

Kubayangkan ibuku sedang sibuk menyuruh-nyuruh para pelayan untuk membereskan barang-barang bawaan kami, tapi aku tidak mau menghabiskan sepanjang sore dengan cara itu! Aku sudah menemukan gerbang kecil di belakang taman. Aku membukanya, dan dari sana aku menyusuri jalanan kecil yang meliuk-liuk di kota tua itu, ke atas tanjung, menuju tembok benteng.

Anak lelaki itu adalah orang pertama yang kutemui. Aku tak tahu apa pun tentangnya, kecuali bahwa dia benar-benar tidak sopan, dan berbicara dalam Bahasa Melayu yang tidak begitu fasih dan berlogat orang Belanda. Jadi, aku pun memutuskan untuk tidak mengacuhkannya.

Aku bergerak mendekati pinggiran benteng itu dan memandang ke bawah. Garis pasir putih terbentang tak beraturan, hampir tampak seperti ingin memeluk birunya air laut. Aku mengamati pelabuhan kecil, tanjung, dan dua pulau besar di ujungnya, yang berjarak tak lebih dari serratus meter dari pinggir laut.

Saat aku berbalik, barulah aku menyadari ada sebuah patung di atas tumpuan itu, tak seberapa jauh dari tempat kami berada.

“Sultan Hasanudin” bisikku, dengan lidah berdecap.

Ternyata itulah dia.

“Dia seorang pahlawan daerah” kataku lantang sambal mengamat-amati patung itu.

Aku lalu melompat ke pinggir tembok dan duduk di atasnya. Bisa kudengar bunyi debur ombak di belakangku, dan kekosongan yang diakibatkan oleh ketinggian benteng itu terasa benar-benar memabukkan.

“Dia seorang pejuang yang sangat gigih” katanya, memperbaiki ucapanku.

Dia membalikkan satu halaman bukunya, lalu melanjutkan “Lahir di Gowa, sebuah daerah tak jauh dari sini, atau lebih tepatnya di kota ini juga, karena dulu ini juga merupakan daerah Kerajaan Gowa, tahun 1631, dia merupakan anak kedua dari empat bersaudara”

Aku membiarkan kedua kakiku terayun-ayun di bawah, pura-pura tidak lagi mendengarkannya. Dia pun berhenti bicara dan pura-pura membaca.

Kami terus begitu saja selama beberapa menit. Tetapi kemudian, aku mengagetkannya saat dia mengamat-amatiku dari balik bukunya.

Aku sangat ingin tertawa, dan aku pun melakukannya.

“Kenapa, sih? Apanya yang lucu?” tanyanya padaku.

“Aku tertawa karena kau sedang mengawasiku”

“Itu tidak benar” katanya berbohong.

“Memang begitu, kok. Kau mengintipku dari balik bukumu”

“Huh!” dengusnya, mencari-cari posisi yang paling nyaman di tempat duduknya yang diselimuti tumbuhan menjalar.

“Ngomong-ngomong, namaku Katia” ujarku riang. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain tertawa, memandang patung orang yang sedang menunggangi kuda dan memegang pedang itu, serta memikirkan hal-hal konyol yang tadi sudah dikatakan anak lelaki ini. Pahlawan, pejuang, bla bla bla... omong kosong khas anak lelaki.

“Dan kau? Kau punya nama?”

“Malah punya tiga: Ludwig Willem van Dekker” jawabnya sinis. “Tapi semua orang memanggilku Ludwig atau pun Willem saja...kurasa Dekker terlalu eksentrik untuk mereka ucapkan!”

Suasana kemudian menjadi hening sejenak, bahkan bagiku rasa hening ini terjadi cukup lama. Akhirnya aku berkata: “Huh, menurutku mereka salah! Ludwig atau pun Willem itu nama yang sudah umum...Dekker lebih cocok buatmu!”

“Kalau menurutmu begitu...”

“Memang begitu menurutku. Malahan aku sudah memutuskan: buatku kau adalah Dekker!”

Anak lelaki itu hanya mengangkat bahunya.

“Terserah kau saja. Lagi pula, itu kan cuma nama...”

Aku lalu menambahkan: “Apa kau sudah berbulan-bulan tinggal di Ujung Pandang dengan saudara-saudaramu?”

Dia tampak terkejut.

“Tadi kau bilang kemampuan mengamatiku payah, kan?” kataku sambil menunjuk ke arah patung itu. “Mungkin kau benar. Tapi aku tahu kau bukan orang dari daerah sini, karena kita mengobrol dengan bahasa Indonesia dan logatmu terlalu sempurna, jadi tak mungkin kau mempelajarinya di sekolah di sekolah. Lalu...pakaianmu tidak seperti pakaian orang di desa dekat laut, jadi kupikir kau tinggal di kota sudah agak lama. Raut mukamu keruh, seperti orang yang baru saja bertengkar dengan seseorang, atau yang baru kabur dari rumah, seperti aku. Selain itu, jaketmu kusut, satu kancingnya hilang, dan saat kau bercerita tentang keempat saudara si pejuang itu, mataku kau tampak kurang bersemangat, jadi aku pun menyimpulkan...anak lelaki ini baru saja bertengkar dengan saudaranya” Aku menghirup napas panjang. “Berapa yang benar dari tebakanku tadi?”

Mata Dekker benar-benar terlihat kaget. Tatapan itu sangat berbeda dari tatapan dingin seorang genius yang beberapa tahun kemudian dikenal semua orang, saat anak lelaki ini sudah menjelma menjadi detektif terhebat di seluruh dunia.

Dia menutup bukunya, dan dalam hatiku aku tersenyum simpul.

Tampaknya aku sudah berhasil menyedot perhatiannya.

“Kau bicara dalam Bahasa Indonesia, tapi kau juga bukan orang Indonesia” tuturnya.

“Aku orang Perancis” jawabku cepat-cepat, memupus kesempatannya untuk menduga-duga.

“Tapi kau sejak kecil tinggal di Batavia”

“Betul sekali” Aku bertanya-tanya bagaimana mungkin dia tahu itu. Aku mengenakan gaun pendek, sepatu, dan kaus kaki putih, yang tak satu pun menunjukkan ciri khas orang Batavia. Orang Venetie ataupun orang Bali juga hampir persis pakaiannya denganku. “Memangnya kelihatan, ya?”

Dekker terkekeh.

“Tidak, tidak sama sekali. Aku Cuma menebak-nebak saja. Tapi...kau tidak mengenakan sepatu yang cocok untuk berjalan-jalan di pantai atau gunung...jadi kau pasti baru sampai disini. Tadi kau bilang sudah kabur dari rumah, jadi kusimpulkan kau tidak sedang berjalan-jalan. Tapi kau terlihat takut, seperti orang yang baru kabur karena takut akan sesuatu. Jadi, kau pasti kabur karena alasan lain. Bisa jadi kau ada di desa ini untuk berlibur bersama orang tuamu”

Suaranya kalem, menenangkan, hampir-hampir terdengar merdu.

Aku melanjutkan permainan.

“Apa kau punya saudara perempuan?”

Willem van Dekker berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Tidak”

“Kalau saudara laki-laki?”

“Sudah kupikirkan tadi. Dari caramu berbicara padaku, rasanya ya, dan kau memiliki saudara laki-laki”

“Salah, Dekker”

“Kau anak tunggal”

“Aha” Aku mengayun-ayunkan kakiku. “Kau ternyata sangat pintar. Kau sudah menebak hampir semuanya, kecuali tentang keberadaan orangtuaku, soalnya hanya ada ibuku saja….”

“Oh, maafkan aku” Dekker buru-buru minta maaf. “Aku tidak bermaksud…”

“Bukan begitu! Memangnya pikirmu apa? Ayahku baik-baik saja, hanya dia tidak ikut ke sini bersama kami. Dia harus bekerja. Pekerjaannya di bidang perkeretaapian. Tapi dialah yang memilih tempat ini. Kami datang bertiga: aku, ibuku, dan…Tuan William”

Aku memandang jalanan kecil tempat aku datang tadi sambal membayangkan kepala pelayan keluargaku tiba saat itu juga, dengan tersengal-sengal dan cemas, seperti biasanya.

Aku tak menyadari bayangan mendung yang menyapu tatapan Dekker saat aku bercerita padanya tentang ayahku. Aku takt ahu bahwa sebenarnya ayahnya telah meninggalkannya sekitar 8 tahun silam.

“Apa yang sedang kau baca?”

Dia mengecek sampul depan bukunya, seolah sudah lupa judulnya.

Max Havelaar-sejarah atau lebih tepatnya lagi cerita tentang orang-orang Indonesia dan juga segala perjuangannya….karangan Multatuli yang nama aslinya Douwes Dekker” entah kenapa ketika ia menyebutkan nama yang terakhir ia begitu ditekan seolah ia bangga bisa jadi dalam sejarah tersebut.

“Ceritanya menarik?”

“Oh, ya. Sangat”

“Kau mau, tidak?”

“Mau apa?”

“Jadi pahlawan atau apalah gitu yang sangat heroik”

Dekker terkekeh sebelum menjawab. “Sejujurnya belum pernah terlintas di benakku, aku hanya berpikir bagaimana menjadi diriku sendiri”

“Kalau aku mau. Dan pasti aku akan bisa menjadi pahlawan yang hebat yang berada di baris terdepan dalam pertempuran. Atau sebutannya pahlawan wanita, ya?”

“Bisa jadi. Meskipun memang tak banyak pahlawan wanita yang mungkin berada di baris terdepan”

“Payah! Tapi aku akan menjadi salah satunya. Akan kuatur strategi perang yang sangat jitu, dan aku akan bisa memenangkan banyak pertempuran dengan taktik jitu. Hei! Kalian bergerak kearah sana dan jaga di pos situ! Tembak!”

Dekker mencibir geli.

Saat itulah aku mendengar suara Tuan William. Dia masih jauh, dan suaranya bergaung di antara jalan-jalan kecil desa itu. Dia terus-menerus memanggil namaku: “Nona Everdeen! Nona Everdeen!”

Betapa memalukan, pikirku. Benar-benar cara yang tepat untuk memperkenalkan diri di sebuah tempat baru.

Teman baruku itu sedang mengamat-amatiku, mempelajari reaksiku.

Aku melompat turun dari atas tembok. Kupandangi pelabuhan, lautan, dan salah satu pulau besar yang berjarak hanya ratusan meter dari tanjung itu. Sejenak aku membayangkan pulau itu adalah pulau hasil penaklukan dari musuh dan tertancap bendera negaraku yang berkibar-kibar.

“Kurasa aku benar-benar harus kabur, Dekker…” tukasku. “Tuan William, kepala pelayan keluargaku, akan tiba di sini sebentar lagi”

“Kabur?”

“Kabur. Telingamu masih sehat, kan? Aku tak mau dia membawaku pulang ke rumah”

“Kedengarannya dia khawatir”

“tidak. Ibuku yang menyuruhnya. Tidak peduli aku pulang sekarang bersamanya, atau pulang nanti saat makan malam, aku pasti tetap akan dimarahi. Jadi, lebih baik sekalian saja aku pulang nanti saat makan malam saja, dan lebih baik kau bisa mengertinya” entah kenapa aku berharap dia dapat mengertiku.

“Aku bisa mengerti”

Aku berjalan kea rah tangga batu yang menurun dari benteng menuju pantai.

“Lagi pula…” tukasku, sambil berlagak hendak menuruni tangga, “aku tak mau menghabiskan sisa sore ini dengan membereskan pakaian dalam dan baju-baju di lemari…atau lebih buruk lagi, main kartu”

“Mengerikan!” komentarnya, tak jelas apakah dimaksudkan untuk baju atau kartu.

Tentu saja itu Cuma alasanku. Aku hanya berpura-pura padanya, sebab yang membereskan baju-baju ialah para pelayan, dan ibuku tidak bermain kartu. Tetapi Dekker tentu saja tidak mengetahui itu.

“Nona Everdeen!” teriak Tuan William kini bergema, begitu dekat.

Aku meletakkan kedua tanganku di pinggang “Bagaiman, Dekker? Kau mau melakukan apa? Tetap membaca bukumu atau…membantuku kabur?”

Dekker berpikir sejenak, lalu melipat buku pejuang itu setelah menyelipkan secarik kain di dalamnya.

“Ke sebelah sini…” usulnya.

Dia berhenti di depan sebuah jalan yang amat sempit, sampai-sampai terlihat seperti celah di antara batu karang, lalu menunjukkan jalannya padauk. Tangan kami tak sengaja bersentuhan, dan dia cepat-cepat menariknya lagi, seolah tangannya habis terpercik api. Dia lalu tak mengacuhkanku dan berjalan dalam keheningan, membuat waktu terasa bergulir amat lama.

Dekker berjalan cepat dengan langkah-langkah panjang. Aku mengikutinya dengan penasaran, sesekali tergelincir di antara jalan setapak dan anak-anak tangga yang turun ke laut kami pun tiba di dasar benteng dan mulai menyusurinya ke arah pelabuhan.

“Kemana kita pergi?” tanyaku sambal menarik tubuhnya ke belakang.

“Ke rumah temanku” Dia tinggi, sangat kurus, dan jaket katunnya bergesekan dengan tulang belakangnya yang menonjol.

Setiap kali dia berhenti, dia melengkungkan tubuhnya dan membungkuk, seolah mencoba untuk bersembunyi. Tetapi segera setelah dia berjalan lagi, punggungnya lurus bagaikan layar.

“Apa yang dikerjakan temanmu?”

“Dia punya perahu kecil. Bukan miliknya, tapi milik ayahnya. Tapi…biasanya kami bisa memakainya”

“Perahu?”

“Sangat kecil”

“Dan kau ingin memakainya untuk pergi…ke laut?”

“Biasanya memang itulah fungsi perahu”

Aku tak bisa percaya. Aku baru saja tiba di kota ini, tapi aku bukan hanya sudah mengenal seorang anak laki-laki, melainkan juga sudah diajak berperahu olehnya.

“Wah…asyik sekali!” pekikku girang.

Jadi begitulah, Ludwig van Dekker membawaku ke palabuhan kecil untuk berkenalan dengan kawan misteriusnya itu. Jika aku harus menunjukkan kapan tepatnya seluruh bencana kami dimulai, nah, kurasa itulah saatnya.
Read more
Friday, 17 March 2017
Secret Love Song Lyric - Little Mix ft. Jason Derulo

When you hold me in the street
And you kiss me on the dance floor
I wish that it could be like that
Why can't it be like that?
'Cause I'm yours

We keep behind closed doors
Every time I see you, I die a little more
Stolen moments that we steal as the curtain falls
It'll never be enough

It's obvious you're meant for me
Every piece of you, it just fits perfectly
Every second, every thought, I'm in so deep
But I'll never show it on my face

But we know this.
We got a love that is homeless

Why can't you hold me in the street?
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can't we be like that?
'Cause I'm yours

[Jason Derulo:]
When you're with him, do you call his name
Like you do when you're with me? Does it feel the same?
Would you leave if I was ready to settle down
Or would you play it safe and stay?

Girl, you know this.
We got a love that is hopeless

Why can't you hold me in the street?
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can't we be like that?
'Cause I'm yours

And nobody knows I'm in love with someone's baby
I don't wanna hide us away
Tell the world about the love we're making
I'm living for that day
Someday

Why can't I hold you in the street?
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that we could be like that
Why can't we be like that?
'Cause I'm yours, I'm yours

Oh, why can't you hold me in the street?
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can't it be like that?
'Cause I'm yours

Why can't I say that I'm in love?
I wanna shout it from the rooftop
I wish that it could be like that
Why can't we be like that?
'Cause I'm yours

Why can't we be like that?
Wish we could be like that

Read more
Tuesday, 7 February 2017
Beauty And The Beast Lyric - Justin Bieber ft. Nicki Minaj

Yeah, Young Money, Nicki Minaj, Justin

Show you off, tonight I wanna show you off (eh, eh, eh)
What you got, a billion could've never bought (eh, eh, eh)

We gonna party like it's 3012 tonight
I wanna show you all the finer things in life
So just forget about the world, we're young tonight
I'm coming for ya, I'm coming for ya

Cause all I need
Is a beauty and a beat
Who can make my life complete
It's all about you,
When the music makes you move
Baby, do it like you do
Cause...

[Beat break]

Body rock, girl, I can feel your body rock (eh, eh, eh)
Take a bow, you're on the hottest ticket now, oh (eh, eh, eh)

We gonna party like it's 3012 tonight
I wanna show you all the finer things in life
So just forget about the world, we're young tonight
I'm coming for ya, I'm coming for ya

Cause all I need
Is a beauty and a beat
Who can make my life complete
It's all about you,
When the music makes you move
Baby, do it like you do

[Nicki Minaj]
In time, ink lines, bitches couldn't get on my incline
World tours, it's mine, ten little letters, on a big sign
Justin Bieber, you know I'mma hit 'em with the ether
Buns out, wiener, but I gotta keep an eye out for Selener
Beauty, beauty and the beast
Beauty from the east, beautiful confessions of the priest
Beast, beauty from the streets, we don't get deceased
Every time a beauty on the beats

(Yeah, yeah, yeah, yeah, let's go, let's go)
Body rock, girl, I wanna feel your body rock

Cause all... (all I need is love) I need
Is a beauty and a beat
Who can make my life complete
It's all... (all I need is you) about you,
When the music makes you move
Baby, do it like you do
Cause...

[Beat break]

Read more
Monday, 6 February 2017
Lima laptop Murah yang Paling Banyak Dicari, Tertarik?

Meski telah hadir perangkat ringkas berupa smartphone, keberadaan laptop masih belum tersisihkan, karena memiliki beberapa keunggulan, seperti keleluasaan saat dioperasikan. Maka itu, peminat dari perangkat ini masih terbilang cukup besar.
Berdasarkan laporan CNet, Senin (6/2/2017), terdapat beberapa laptop yang paling banyak dicari berkat harganya yang cukup miring. Laptop apa saja yang paling banyak dicari di tahun ini? Berikut daftarnya.
Acer Aspire S 13




Acer Aspire S 13 memiliki prosesor Core i5 berkecepatan 2,3 GHz dengan dukungan RAM 8 GB. Layarnya telah dilenkapi fitur touchscreen dengan resolusi 1.920 x 1.080 piksel. Sedangkan dari performa baterai laptop ini dapat bertahan hingga 7 jam.
Lenovo ThinkPad 13 Chromebook

Laptop berukuran 13 inci ini telah dilengkapi dengan Windows 10 dan memiliki resolusi layar HD. Untuk memperlancar kinerjanya, Lenovo turut membenamkan prosesor Celeron 3855U, Core i3 dan i5. RAM yang disediakan terdapat dua pilihan yakni 2 dan 4 GB.
HP Stream 14 ax010nr

HP Stream 14 ax010nr memiliki kapasitas RAM hingga 4 GB dengan CPU Intel Celeron N3060 berkecepatan 1,6 GHz dan memori internal 32 GB. Dalam peluncurannya laptop ini akan menjalankan Windows 10.
Lenovo Ideapad 100S

Laptop yang cukup mini ini memiliki ukuran layar 11,6 inci dengan resolusi layar 1.366 x 768 piksel. Prosesor yang digunakan mengandalkan buatan Intel Atom Z3735F yang disertai RAM 2 GB. Sementara untuk keperluan penyimpanan dapat mengandalkan kapasitas 32 GB.
HP Sepctre x360

HP Spectre x360 memiliki ukuran layar 13 inci dengan kemampuan yang disokong prosesor Core i5 dan RAM 256 GB. Layarnya telah menggunakan resolusi 1.080 dan fitur sentuhan.
Read more
Tips Menulis Novel Fiksi Fantasi/Thriller

Mungkin bagi sebagian orang, nulis fiksi adalah sesuatu yang mudah. Ah, itu kan cuman karangan, gampang itu mah tinggal duduk terus ngetik doang. Sesimpel itukah? menurut gue, yang paling mudah itu nulis sesuatu yang kita alami sendiri dibandingkan nulis fiksi fantasi. Pada tulisan fiksi fantasi atau Thriller, banyak yang kita pikirkan. Mulai dari karakter tiap tokoh, konflik dan ending yang berkesan. Di luar negeri, novel fiksi termasuk novel yang paling banyak diminati, beberapanya pasti pada taulah si penyihir yang dahinya kegores (Hary Potter) sama vampire itu (Twilight). Di Indonesia, setahu gue, novel fiksi fantasi/ thriller buatan penulis Indonesia agak kurang diminati sekarang. Yang gue liat di Indonesia ini novel yang laris adalah novel bergenre kehidupan pribadi, humor sama cinta-cintaan.

Gue gak tau, penulis fiksinya yang kurang atau peminat novel fiksinya yang minim. Entahlah. Nah, atas dasar-dasar itulah disini gue mau ngasih sedikit tips nulis fiksi fantasi/ thriller. Walaupun gue juga masih belajar, paling enggak tips-tips ini bisa buat banyak orang sadar bahwa betapa seru dan menantangnya menulis sebuah karya fiksi. Ini dia tips-tipsnya yang gue rangkum dari beberapa sumber.

1. Memilih topik yang tepat.
Menurut gue di Indonesia ini pembaca novel itu kebanyakan remaja-dewasa, ya mungkin antara 18-30 tahunan. Jadi, pintar-pintarlah memilih topik yang kira-kira disukai oleh pembaca dengan range umur segitu. Tapi apapun itu, fiksi fantasi/thriller biasanya selalu identik dengan misteri. Entah itu tentang dunia lain, pembunuhan, pencurian, dll. Kenapa misteri? karena pada topik misteri ini, unsur kejutan di dalamnya pasti lebih banyak. Nah, ini sulitnya dimana penulis harus menciptakan sebuah kejutan-kejutan di dalam tulisannya. Inget Hary Potter? siapa sangka si Harry yang awalnya seolah cuman kayak babu, dikucilkan, eh ternyata anak dari pasangan penyihir yang tersohor.

2. Cari Inspirasi Sebanyak-banyaknya.
Jangan takut untuk bertanya, jangan takut dompet mengering karena abis beli novel fiksi. Kalau kita benar-benar serius, segala upaya itu enggak akan nihil. Kita harus banyak referensi dari genre novel yang sama, yang mau kita buat. Kalau gue saranin jangan yang beda genre (iya lah!). Jangan lo mau bikin novel fiksi kayak Narnia eh malah beli novel Kambing Jantannya Raditya Dika.

3. Ciptakan Pahlawan dan Penjahat yang hebat.
Gak seru kalau novel fiksi thriller penjahatnya "letoy". Di dunia ini banyak pertentangan seperti ada hitam dan putih, miskin dan kaya, pintar dan bodoh, dll. Begitu juga sebuah novel fiksi. Banyak contoh dari pertarungan tokoh jahat dan baik ini. Biasanya, penjahat bersifat iri hati, pendendam, serakah tapi jenius dan bahkan ada gabungan dari beberapanya yang bisa dibilang rada psycho, contohnya Joker, gue adalah pengagum berat Joker. Di Sherlock Holmes ada juga penjahat jenius bernama Profesor Moriarty. Tapi ingat, gak selamanya sebuah fiksi mengharuskan menciptakan Pahlawan dan Penjahat yang jenius di dalamnya. Ada juga sebuah fiksi dimana tokoh utamanya bisa dibilang juga punya sifat yang enggak begitu baik/ sempurna seperti Pinokio dan Arsene Lupin, yang berarti bahwa sifat jahat/ gak baik juga ada pada diri tokoh utama.

4. Jangan Terburu-Buru Mengakhiri Perang.
Ya, novel fiksi yang laris adalah novel fiksi yang berkelanjutan. Tetaplah menghidupkan Pahlawan dan Penjahat. Oh iya, pahlawan dan penjahat disini bukan cuman bersifat tunggal. Mereka bisa juga berkelompok. Misal di sekuel pertama beberapa anggota dari kedua kelompok tersebut mati, lalu pertarungan kelompok jahat dan baik ini dilanjutkan pada sekuel-sekuel berikutnya. Biar cerita lebih seru, muncul karakter baru untuk menggantikan karakter yang hilang di sekuel sebelumnya.

5. Buatlah Paragraf yang pendek.
Khusus pembaca remaja, rata-rata mereka suka membaca paragraf yang gak terlalu panjang. Sebaiknya paragraf tuh singkat, jelas, padat. Untuk penulis amatir kayak gue, paragraf yang pendek ini adalah langkah yang aman. Biasanya, penulis-penulis yang suka menulis dengan paragraf panjang sangat pintar bermain di pendeskripsian dengan pilihan kata yang sangat pas. Nah kalau kita belum sanggup gitu, mending bermain di paragraf-paragraf yang pendek tapi alur tetap jelas.

6. Penjelasan Karakter Yang Detail.
Nah ini yang gak kalah krusial. Kadang, penulis suka bingung cara menjelaskan karakter tokoh yang dibuatnya ke pembaca. Ada dua yang harus dijelaskan penulis, yaitu gimana bentuk fisiknya dan gimana sifatnya. Nah, ini yang kadang buat kita bingung. Untuk penjelasan ini kita gak perlu nulis semua kok, misal untuk fisik aja, kita cukup menjelaskan beberapa aja misalnya hidung mancung, mata sipit dan badan gempal. Biarkan pembaca memvisualisasikan tokoh itu sendiri. Jangan ditulis semua sampai upilnya segede apa, bentuk upilnya gimana, gak perlu! Oh iya, untuk penjelasannya, kita bisa menjelaskan bagaimana si karakter tersebut melalui paragraf dan conversation. Misalnya ada conversation gini:

"Wan, kok lo gak ikutan kita sih kemarin?"

"Ah males, mending gue di rumah, makan, tidur, berak, maen game. Ngapain ikut manjat tebing gitu, capek tau..."

Nah, di conversation seperti itu pun kita udah tau kalau si Wan itu sifatnya pemalas. Tapi inget lagi nih, di berbagai kesempatan/ ruang, kita harus ngasih visualisasi bentuk fisik dan sifatnya, jangan salah satunya aja.

7. Masukkan Bahasa atau Istilah Yang Lagi Ngetrend
Kata temen gue yang magang di salah satu penerbit konvensional, bahasa atau istilah yang lagi ngehits ini menjadi pertimbangan juga. Sering-sering bergaul, serap beberapa istilah yang sering diucapkan/ trend. Pilihan gaya bahasa "gue", "aku" atau "saya", bisa jadi sangat vital buat naskah yang lagi kita bikin. Ini langkah yang gak mudah juga soalnya disinilah biasanya ada benturan antara idealisme penulis dan penerbit.

8. Setting
Setting atau tempat ini gak perlu lagi gue perjelas panjang lebar. Tapi harus diketahui, mendeskripsikan setting ini sama pentingnya dengan mendeskripsikan tokoh. Menurut gue pribadi, mendeskripsikan setting lebih sulit daripada tokoh, apalagi kalau settingnya untuk novel fantasi kayak Narnia, The Hobbit, Harry Potter yang settingnya lebih kayak cerita dongeng/ khayalan. Kenapa lebih sulit mendeskripsikan setting? soalnya setting ini lebih luas dengan objek yang lebih bervariasi. Penulis harus dengan cerdik menempatkan objek pada sebuah setting/ tempat melalui tulisan.

9. Ciptakan Konflik Yang Dahsyat
Pahlawan dan penjahat udah ada, terus mau gimana lagi nih? ya pastinya menciptakan sebuah konflik yang melibatkan kedua tokoh tersebut. Misalnya kasus yang paling sederhana adalah si penjahat ini ternyata yang bunuh orang tua si tokoh yang baik/ pahlawan. Kemudian si Pahlawan memutuskan untuk mencari si penjahat. Nah pada saat itulah konflik-konflik mulai diselipin satu persatu. Misalnya ketika si Pahlawan ingin menghukum si Penjahat ternyata si penjahat ini menyandera pacar / kerabat dari si Pahlawan. Disaat itulah peran penulis untuk menyelesaikan konflik dibutuhkan. Susunlah tata kalimat yang pas untuk menggambarkan situasi yang sedang terjadi dan berikan kejutan-kejutan ke pembaca.

10. Tunjukkan Perilaku dan Etika Yang Benar.
Sebagai penulis, kita juga harus menanamkan nilai moral ke pembaca. Kalau penjahat salah, si penulis harus menghukumnya dengan cara bagaimana pun. Kalau pun si Penjahat gagal di tangkap, dengan maksud untuk melanjutkan ke sekuel berikutnya, setidaknya si penjahat gagal mendapatkan apa yang dia mau. Misalnya si penjahat ini mencuri berlian, entah gimana caranya, si pahlawan ini akhirnya bisa mendapatkan lagi itu berlian namun si penjahat lepas.

Nah, itu dia sedikit tips nulis sebuah karya fiksi yang gue rangkum dari berbagai sumber (linknya ada di bawah). Semoga aja bisa ngasih sedikit semangat dan inspirasi buat orang-orang yang berniat nulis fiksi fantasi/thriller ini. Gue berharap kedepannya novel fiksi fantasi/ thriller buatan orang Indonesia bisa tambah banyak dan lebih bervariasi. Soalnya kalau novel fiksi fantasi buatan luar tuh mahal euy, huehuehue...

Read more
Wisteria

# Tiga Sekawan
Kurasa aku bukanlah satu-satunya teman wanita yang pernah ada di hidup seorang yang bertahun-tahun kemudian dikenal sebagai seorang pemikir dan pengamat yang paling jenius di dunia, Ludwig(Willem) van Dekker, tapi tak ada yang bisa menyangkal bahwa aku adalah teman wanita yang pertama dan paling “spesial” dalam hidupnya. Tetapi, sewaktu kami pertama kali berkenalan, dia belum menjadi seorang pemikir paling jenius, apalagi terkenal. Waktu itu aku masih berumur empat belas tahun dan umurnya sedikit di atasku.
Ketika itu sedang musim panas, karena memang kami tinggal di daerah tropis.
Tepatnya, pada 30 Juni.
Aku masih ingat betul saat pertama kali bertemu dengannya. Dia sedang duduk di sudut benteng, di antara dinding-dindingnya yang terbuat dari batu, dan punggungnya bersandar pada tumbuhan yang menjalar tepat dari atas dinding. Di belakangnya hanya ada laut membentang, biru tua dan bergelora. Juga ada banyak burung camar berterbangan di langit, berputar perlahan-lahan
Kawanku itu melipat kedua lututnya di bawah dagu. Dia sedang asyik tenggelam dalam buku yang sedang dibacanya, seolah bacaannya itu menentukan nasib seluruh dunia, dan mungkin dia berpikir dialah sang penyelamat dunia itu.
Kurasa dia tak akan pernah menyadari kehadiranku dan kami tak akan pernah berkenalan selamanya, jika saja konsentrasi penuhnya itu tidak begitu menggelitik rasa penasaranku, dan jika saja aku tidak berani menghampiri untuk menganggunya, atau lebih tepatnya “ingin mencari perhatiannya”.
Aku baru saja tiba di Ujung Pandang, jadi aku bertanya padanya apakah dia tinggal di sini.
Dia menjawab tanpa mengalihkan tatapan dari bukunya itu.
“Tidak” jawabnya,”Aku tinggal di sebuah rumah, di Jalan von Bekker, nomor 46”
Bocah ini tak punya selera humor! Tentu saja dia tidak tinggal di puncak sebuah benteng di atas laut!
Oke, kau menang, batinku pada situasi seperti ini.
Aku pun paham bahwa persaingan diantara kami berdua baru saja dimulai.
Aku hanyalah orang luar.
Aku tiba di Ujung Pandang setelah melewati perjalanan panjang dengan sebuah kapal layar mewah dari Batavia. Kami sedang berlibur, dan menghabiskan seluruh liburan di Ujung Pandang adalah ide ibuku.
Aku tidak hanya senang kepalang, tapi juga amat bersemangat. Memang sebelumnya aku sering melihat lautan dan pantai, karena aku sering menemani ayahku pergi ke dermaga di Batavia. Tapi inilah kali pertama aku ke pantai yang begitu eksotik, yang menjadi tujuan wisata. Bisa dibilang, dalam hidupku, aku hanya sekitar satu atau dua kali pergi ke pantai yang menjadi tujuan wisata. Aku mendapat kesempatan itu saat, ayahku ada pergi ke Venetie untuk kunjungan kerja, dan ketika aku diajak ayahku berlibur di Bali. Sebenarnya Ayahku dan Ibuku bilang aku masih terlalu kecil untuk mengingat keindahan pantai itu, tapi aku ingat betul pantai yang indah itu. Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Jadi, ide menghabiskan seluruh libur musim panas tahun 1888 di sebuah desa dekat laut dengan pantainya yang indah pun begitu menakjubkan buatku. Aku juga bakal menurut saja pada nasihat ayahku yang selalu berkata “Tinggallah di sana lebih lama, kalau kalian mau. Kalian tidak harus kembali lagi ke Batavia!”
Sesungguhnya ibuku lebih suka tinggal di kota besar, dan setelah musim panas itu, aku harus kembali ke sekolah...Ya sekolah disini tetap memakai sistem libur musim panas, padahal disini hanya ada dua musim saja, jika saja libur musim panas ini tak pernah terjadi. Libur musim panas itu mengubah hidupku, benar-benar mengubah seluruh hidupku.
Perjalanannya begitu menyiksa. Ini bukan gara-gara kapal layar mewah yang sudah disewa ayahku tanpa mempertimbangkan harganya, seperti biasa dilakukannya jika itu demi kebaikanku atau ibuku. Kapal layar ini benar-benar mewah bagaikan kapal para bangsawan:dengan empat layar yang terkembang dengan gagahnya, seorang nahkoda bertopi silinder serta beberapa awak kapal lainnya, dan ruang “penumpang” yang berisi kursi-kursi yang dihiasi bantal-bantal bersalut sutra China. Jika aku perkirakan luas kapal ini hampir setara dengan luas dari lapangan bola, benar-benar sesuatu yang sangat tidak diperhitungkan hanya untuk perjalalanan “keluarga kecil” ini.
Tetapi, menempuh beberapa hari berlayar dibawah pengawasan ketat ibuku dan Tuan William yang terus mengawasiku diruang penumpang tanpa boleh jalan-jalan ke buritan ataupun geledak kapal, benar-benar terasa berabad-abad lamanya.
Richard William adalah kepala pelayan berkulit hitam di rumah Keluarga Everdeen. Dia jangkung, sangat pendiam, dan sangat khawatir pada apa pun yang bisa saja kuperbuat. Sebagian besar para pelayan di rumah kami sudah berangkat beberapa minggu sebelumnya untuk menyiapkan rumah yang akan kami tinggali selama musim panas, dan Tuan William adalah satu-satunya yang masih bersama kami.
Matanya tak pernah lepas mengawasiku.
Setiap kali ada kesempatan, dia selalu bilang: “Mungkin tidak seharusnya begitu, Nona Everdeen”
“Mungkin tidak seharusnya begitu” selalu itu-itu saja yang dikatakannya.
Mungkin karena itulah, saat ada kesempatan, aku segera meloloskan diri darinya untuk melewati jalan setapak yang berangin, menuju benteng yang dikemudian hari dikenal sebagai Benteng Rotterdam.
Rumah liburan kami ialah sebuah vila kecil berlantai dua. Vila itu kecil, tapi sangat asri, dengan jendela loteng yang luas di atapnya dan dilengkapi jendela-jendela yang disebut orang Inggris sebagai bow-window, jendela melengkung, dan yang sewaktu masih kecil selalu kusebut jendela-jendela buncit.
Ada serumpun wisteria dan banyak sekali tumbuhan menjalar yang menutupi permukaannya. Ibuku berkata: “Oh, ya ampun, pasti itu penuh binatang liar” dan butuh waktu agak lama sebelum aku mengerti apa yang dimaksud ibuku.
Aku memahaminya beberapa hari kemudian saat aku lupa menutup jendela kamarku, dan keesokannya aku menemukan seekor ular sedang merayap di lantai.
“Mungkin tidak seharusnya begitu; Nona tidak boleh membiarkan jendela kamar terbuka sepanjang malam” Tuan William menegurku tegas saat dia memasuki ruangan.
Kemudian, dia mengambil tongkat perapian dan aku pun menjerit “Jangan berani-berani melakukannya, Tuan Richard William!”
Jadi, dia pun menghela napas, menaruh kembali tongkat itu, dan menyambar ekor ular tadi seraya berkata, “Setidaknya izinkan saya mengembalikan tamu Anda ke taman”
William memang seorang yang kaku, tetapi kadangkadang dia bisa juga membuatku tertawa.
Sesaat setelah dia keluar dari kamarku bersama “tamuku” yang merayap tadi, pintu lemari sekonyong-konyong terbuka, dan dari dalamnya muncul sebuah wajah cerdas seorang bocah laki-laki.
Dialah teman keduaku di liburan musim panas yang panjang ini.
Namanya Daeng Lama, seperti nama si “laba-laba hitam” di malam hari yang terkenal dan terpandang masyhur itu. Namun, selama hari-hari itu dia belum memulai karier gemilangnya dalam bidang “peraktingan” internasional. Dialah orang yang harus bertanggung-jawab atas aksi-aksinya beberapa tahun ke depan. Tapi, waktu itu ia belum menjadi seorang yang terpandang sewaktu umurnya masih beberapa tahun diatasku dan beberapa tahun di bawah Ludwig van Dekker.
Setelah mengenal nama teman-temanku tadi, kini bisa kalian bayangkan betapa menariknya pengalaman yang aku dapatkan di liburan musim panas ini. Banyak hal yang layak untuk dikenang.
Nah, lebih baik aku memulainya dari awal saja.

Read more
Shape Of You Lyric - Ed Sheeran

The club isn't the best place to find a lover
So the bar is where I go
Me and my friends at the table doing shots
Drinking fast and then we talk slow
You come over and start up a conversation with just me
And trust me I'll give it a chance now
Take my hand, stop
Put Van The Man on the jukebox
And then we start to dance
And now I'm singing like

Girl, you know I want your love
Your love was handmade for somebody like me
Come on now, follow my lead
I may be crazy, don't mind me
Say, boy, let's not talk too much
Grab on my waist and put that body on me
Come on now, follow my lead
Come, come on now, follow my lead

I'm in love with the shape of you
We push and pull like a magnet do
Although my heart is falling too
I'm in love with your body
And last night you were in my room
And now my bedsheets smell like you
Every day discovering something brand new
I'm in love with your body
Oh I oh I oh I oh I
I'm in love with your body
Oh I oh I oh I oh I
I'm in love with your body
Oh I oh I oh I oh I
I'm in love with your body
Every day discovering something brand new
I'm in love with the shape of you

One week in we let the story begin
We're going out on our first date
You and me are thrifty
So go all you can eat
Fill up your bag and I fill up a plate
We talk for hours and hours about the sweet and the sour
And how your family is doing okay
Leave and get in a taxi, then kiss in the backseat
Tell the driver make the radio play
And I'm singing like

Girl, you know I want your love
Your love was handmade for somebody like me
Come on now, follow my lead
I may be crazy, don't mind me
Say, boy, let's not talk too much
Grab on my waist and put that body on me
Come on now, follow my lead
Come, come on now, follow my lead

I'm in love with the shape of you
We push and pull like a magnet do
Although my heart is falling too
I'm in love with your body
And last night you were in my room
And now my bedsheets smell like you
Every day discovering something brand new
I'm in love with your body
Oh I oh I oh I oh I
I'm in love with your body
Oh I oh I oh I oh I
I'm in love with your body
Oh I oh I oh I oh I
I'm in love with your body
Every day discovering something brand new
I'm in love with the shape of you

Come on, be my baby, come on
Come on, be my baby, come on
Come on, be my baby, come on
Come on, be my baby, come on
Come on, be my baby, come on
Come on, be my baby, come on
Come on, be my baby, come on
Come on, be my baby, come on

I'm in love with the shape of you
We push and pull like a magnet do
Although my heart is falling too
I'm in love with your body
Last night you were in my room
And now my bedsheets smell like you
Every day discovering something brand new
I'm in love with your body
Come on, be my baby, come on
Come on, be my baby, come on
I'm in love with your body
Come on, be my baby, come on
Come on, be my baby, come on
I'm in love with your body
Come on, be my baby, come on
Come on, be my baby, come on
I'm in love with your body
Every day discovering something brand new
I'm in love with the shape of you


Read more