-->
Monday, 6 February 2017

# Tiga Sekawan
Kurasa aku bukanlah satu-satunya teman wanita yang pernah ada di hidup seorang yang bertahun-tahun kemudian dikenal sebagai seorang pemikir dan pengamat yang paling jenius di dunia, Ludwig(Willem) van Dekker, tapi tak ada yang bisa menyangkal bahwa aku adalah teman wanita yang pertama dan paling “spesial” dalam hidupnya. Tetapi, sewaktu kami pertama kali berkenalan, dia belum menjadi seorang pemikir paling jenius, apalagi terkenal. Waktu itu aku masih berumur empat belas tahun dan umurnya sedikit di atasku.
Ketika itu sedang musim panas, karena memang kami tinggal di daerah tropis.
Tepatnya, pada 30 Juni.
Aku masih ingat betul saat pertama kali bertemu dengannya. Dia sedang duduk di sudut benteng, di antara dinding-dindingnya yang terbuat dari batu, dan punggungnya bersandar pada tumbuhan yang menjalar tepat dari atas dinding. Di belakangnya hanya ada laut membentang, biru tua dan bergelora. Juga ada banyak burung camar berterbangan di langit, berputar perlahan-lahan
Kawanku itu melipat kedua lututnya di bawah dagu. Dia sedang asyik tenggelam dalam buku yang sedang dibacanya, seolah bacaannya itu menentukan nasib seluruh dunia, dan mungkin dia berpikir dialah sang penyelamat dunia itu.
Kurasa dia tak akan pernah menyadari kehadiranku dan kami tak akan pernah berkenalan selamanya, jika saja konsentrasi penuhnya itu tidak begitu menggelitik rasa penasaranku, dan jika saja aku tidak berani menghampiri untuk menganggunya, atau lebih tepatnya “ingin mencari perhatiannya”.
Aku baru saja tiba di Ujung Pandang, jadi aku bertanya padanya apakah dia tinggal di sini.
Dia menjawab tanpa mengalihkan tatapan dari bukunya itu.
“Tidak” jawabnya,”Aku tinggal di sebuah rumah, di Jalan von Bekker, nomor 46”
Bocah ini tak punya selera humor! Tentu saja dia tidak tinggal di puncak sebuah benteng di atas laut!
Oke, kau menang, batinku pada situasi seperti ini.
Aku pun paham bahwa persaingan diantara kami berdua baru saja dimulai.
Aku hanyalah orang luar.
Aku tiba di Ujung Pandang setelah melewati perjalanan panjang dengan sebuah kapal layar mewah dari Batavia. Kami sedang berlibur, dan menghabiskan seluruh liburan di Ujung Pandang adalah ide ibuku.
Aku tidak hanya senang kepalang, tapi juga amat bersemangat. Memang sebelumnya aku sering melihat lautan dan pantai, karena aku sering menemani ayahku pergi ke dermaga di Batavia. Tapi inilah kali pertama aku ke pantai yang begitu eksotik, yang menjadi tujuan wisata. Bisa dibilang, dalam hidupku, aku hanya sekitar satu atau dua kali pergi ke pantai yang menjadi tujuan wisata. Aku mendapat kesempatan itu saat, ayahku ada pergi ke Venetie untuk kunjungan kerja, dan ketika aku diajak ayahku berlibur di Bali. Sebenarnya Ayahku dan Ibuku bilang aku masih terlalu kecil untuk mengingat keindahan pantai itu, tapi aku ingat betul pantai yang indah itu. Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Jadi, ide menghabiskan seluruh libur musim panas tahun 1888 di sebuah desa dekat laut dengan pantainya yang indah pun begitu menakjubkan buatku. Aku juga bakal menurut saja pada nasihat ayahku yang selalu berkata “Tinggallah di sana lebih lama, kalau kalian mau. Kalian tidak harus kembali lagi ke Batavia!”
Sesungguhnya ibuku lebih suka tinggal di kota besar, dan setelah musim panas itu, aku harus kembali ke sekolah...Ya sekolah disini tetap memakai sistem libur musim panas, padahal disini hanya ada dua musim saja, jika saja libur musim panas ini tak pernah terjadi. Libur musim panas itu mengubah hidupku, benar-benar mengubah seluruh hidupku.
Perjalanannya begitu menyiksa. Ini bukan gara-gara kapal layar mewah yang sudah disewa ayahku tanpa mempertimbangkan harganya, seperti biasa dilakukannya jika itu demi kebaikanku atau ibuku. Kapal layar ini benar-benar mewah bagaikan kapal para bangsawan:dengan empat layar yang terkembang dengan gagahnya, seorang nahkoda bertopi silinder serta beberapa awak kapal lainnya, dan ruang “penumpang” yang berisi kursi-kursi yang dihiasi bantal-bantal bersalut sutra China. Jika aku perkirakan luas kapal ini hampir setara dengan luas dari lapangan bola, benar-benar sesuatu yang sangat tidak diperhitungkan hanya untuk perjalalanan “keluarga kecil” ini.
Tetapi, menempuh beberapa hari berlayar dibawah pengawasan ketat ibuku dan Tuan William yang terus mengawasiku diruang penumpang tanpa boleh jalan-jalan ke buritan ataupun geledak kapal, benar-benar terasa berabad-abad lamanya.
Richard William adalah kepala pelayan berkulit hitam di rumah Keluarga Everdeen. Dia jangkung, sangat pendiam, dan sangat khawatir pada apa pun yang bisa saja kuperbuat. Sebagian besar para pelayan di rumah kami sudah berangkat beberapa minggu sebelumnya untuk menyiapkan rumah yang akan kami tinggali selama musim panas, dan Tuan William adalah satu-satunya yang masih bersama kami.
Matanya tak pernah lepas mengawasiku.
Setiap kali ada kesempatan, dia selalu bilang: “Mungkin tidak seharusnya begitu, Nona Everdeen”
“Mungkin tidak seharusnya begitu” selalu itu-itu saja yang dikatakannya.
Mungkin karena itulah, saat ada kesempatan, aku segera meloloskan diri darinya untuk melewati jalan setapak yang berangin, menuju benteng yang dikemudian hari dikenal sebagai Benteng Rotterdam.
Rumah liburan kami ialah sebuah vila kecil berlantai dua. Vila itu kecil, tapi sangat asri, dengan jendela loteng yang luas di atapnya dan dilengkapi jendela-jendela yang disebut orang Inggris sebagai bow-window, jendela melengkung, dan yang sewaktu masih kecil selalu kusebut jendela-jendela buncit.
Ada serumpun wisteria dan banyak sekali tumbuhan menjalar yang menutupi permukaannya. Ibuku berkata: “Oh, ya ampun, pasti itu penuh binatang liar” dan butuh waktu agak lama sebelum aku mengerti apa yang dimaksud ibuku.
Aku memahaminya beberapa hari kemudian saat aku lupa menutup jendela kamarku, dan keesokannya aku menemukan seekor ular sedang merayap di lantai.
“Mungkin tidak seharusnya begitu; Nona tidak boleh membiarkan jendela kamar terbuka sepanjang malam” Tuan William menegurku tegas saat dia memasuki ruangan.
Kemudian, dia mengambil tongkat perapian dan aku pun menjerit “Jangan berani-berani melakukannya, Tuan Richard William!”
Jadi, dia pun menghela napas, menaruh kembali tongkat itu, dan menyambar ekor ular tadi seraya berkata, “Setidaknya izinkan saya mengembalikan tamu Anda ke taman”
William memang seorang yang kaku, tetapi kadangkadang dia bisa juga membuatku tertawa.
Sesaat setelah dia keluar dari kamarku bersama “tamuku” yang merayap tadi, pintu lemari sekonyong-konyong terbuka, dan dari dalamnya muncul sebuah wajah cerdas seorang bocah laki-laki.
Dialah teman keduaku di liburan musim panas yang panjang ini.
Namanya Daeng Lama, seperti nama si “laba-laba hitam” di malam hari yang terkenal dan terpandang masyhur itu. Namun, selama hari-hari itu dia belum memulai karier gemilangnya dalam bidang “peraktingan” internasional. Dialah orang yang harus bertanggung-jawab atas aksi-aksinya beberapa tahun ke depan. Tapi, waktu itu ia belum menjadi seorang yang terpandang sewaktu umurnya masih beberapa tahun diatasku dan beberapa tahun di bawah Ludwig van Dekker.
Setelah mengenal nama teman-temanku tadi, kini bisa kalian bayangkan betapa menariknya pengalaman yang aku dapatkan di liburan musim panas ini. Banyak hal yang layak untuk dikenang.
Nah, lebih baik aku memulainya dari awal saja.

Tagged
Al-Qalam Creative Media
Ditulis Oleh Al-Qalam Creative Media

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar