-->
Monday 28 November 2016

#Sepeda Pertama dan Terakhir

“Kak, ayo kita main di luar!” suaranya begitu lembut dan sangat menggambarkan nada gembira dari seorang anak perempuan. Marja, namanya. Dia merupakan adikku, adik perempuanku yang paling aku sayangi. Marja membuat hidupku begitu berarti. Aku dan Marja memang tak begitu jauh selisihnya atau bisa dibilang aku dan Marja adalah anak kembar. Yang jelas aku lebih tua 11 menit dari Marja.
“Ah, kakak ngga seru nih!” ajakannya begitu kuat. “Kau tunggu saja di luar, kakak akan segera menyusul” pintaku, sebagai anak pertama, aku harus bisa mandiri. Saat-saat seperti ini, main dengan Marja, aku pasti membuat sesuatu yang berbeda dan membuat terkesan. Tapi, kali ini justru dia yang memeberi kejutan padaku.
“Ayo kak kita main sepedaan bareng, kakak pake sepeda yang itu!” pandanganku langsung mengarah ke sepeda tua itu. Begitu tua, tapi masih kuat, sepertinya ini adalah sepeda paling bagus pada zamannya, cocok denganku. Sementara Marja juga sama. Pikiranku langsung memastikan bahwa Marja minta dibelikan sepeda oleh ayah dan ibu dan juga membelikanku sepeda yang sesuai denganku atau bahkan dia minta dibelikan oleh paman. Ah, maklum anak perempuan, apapun yang diminta pasti hampir selalu dikabulkan.
Aku begitu menikmati saat-saat ini. Marja adalah pelita bagiku bahkan di keluargaku juga begitu. “Marja, ayo kita istirahat dulu dibawah pohon” kali ini aku mencoba untuk mengambil keputusan lebih dulu. “Yah, kakak, sudah mau istirahat aja, padahal lagi seru nih!” mukanya agak sedikit ditekuk, tapi aku yakin dia juga sebenarnya sudah sedikit kelelahan juga, hampir 30 menit kami bersepeda menaiki bukit, dan kami telah sampai di pohon puncak bukit.
“Coba kakak tebak, aku dapat sepeda ini dari siapa?” ternyata dia dulu yang memulai percakapan. “Pasti juga kamu dapat dari hasil meminta kamu sama ayah atau pun ibu? Atau bahkan dengan paman?” itulah yang sudah pikirkan dari tadi dari seorang anak manja bernama Marja. Dia hanya bersenyum tipis. Aku tak tahu lagi!
“Salah...... aku dapat dari seseorang yang baik banget” jawaban yang menimbulkan pertanyaan dibenakku.
“Aslinya Cuma aku yang dikasih, tapi aku minta dibeliin satu lagi buat kakak” pikiranku semakin tak bisa membayangkan lagi. “Awalnya nggak boleh, tapi aku agak sedikit berharap, bukannya aku ngga tahu terima kasih, tapi aku mau barengan sama kakak dan akhirnya boleh tapi ada syaratnya....”
“Apa syaratnya?” langsung saja aku mengajukan pertanyaan. Hal ini semakin sulit saja di petakan. Siapakah yang memberikan ini semua? Apa tujuannya? Kapan dan dimana Marja bertemu? Kenapa harus Marja? Semua pertanyaan itu terus menghiasi cerebroku. Bukannya menemukan jawaban, justru pertanyaan ini membuat cerebroku seolah berhibernasi dan membuat pikiranku semakin berantakan dengannya.
Sejenak tak ada jawaban langsung dari Marja. Raut wajahnya yang semula menampakkan kegembiraan seketika berubah menjadi muram. Langit yang tampak cerah seolah berubah menjadi malam yang gelap. “Mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir kita”. “Apa? Memang kakak tidak salah dengar? Coba katakan lagi!” sontak aku merasa terkejut, memang apa yang terjadi? Kenapa Marja merelakan semua kebahagian ini? Atau bisa dibilang hanya untukku? Kakak macam apa aku yang tak bisa melindungi adikku, justru adikku lah yang melakukan ini semua untukku. Dasar kakak yang tidak tahu diri. Semua penyesalan itu menjalar dalam diriku, seketika aku menjadi orang yang paling bersalah dan aku menganggap ini adalah kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan.
“Bisa jadi ini adalah pertemuan terakhir kita, kak” perkataan itu terulang lagi. Tanpa ada keraguan dan jelas dalam penyampaian menandakan bahwa Marja serius mengucapkannya. “Tapi, kenapa bisa terjadi seperti ini? Coba tolong ceritakan semuanya kepada kakak” pintaku, aku ingin mengetahuinya secara jelas.
“Begini kak ceritanya..” hatiku langsung membeku seperti benua antartika, perasaanku seolah tenggelam bersama Fir’aun di laut mediterania, hatiku kacau berantakan terbawa gelombang banjir besar Nabi Nuh.
“Semua begitu cepat kejadiannya, 3 orang datang menghampiriku yang waktu itu sedang menemani paman bekerja, dengan muka jahatnya, ia bertanya, ‘kau Marja?’, aku jawab saja ‘iya’, kemudian ia menarikku dan seketika itu paman langsung melindungiku dan berancang-ancang ingin bertarung, kemudian orang yang menurutku mukanya seperti hiu berkata, ‘kau siapa? Lebih baik kau minggir, atau kau dalam masalah!’, ancamannya begitu sadis, sederhana namun sangat tajam menusuk...”
Seketika itu Marja berhenti bercerita, “Demi Tuhan Gashendo, mereka kesini”. Tiga orang dengan menggunakan setelan pakaian yang rapi dan tak menampakkan gerak-gerik penjahat sedikitpun mendekati kami. Tak sampai kami berdiri, mereka bertiga telah sampai didepan kami. Pandangan pertama itu aku langsung bisa menilai, bahwa mereka adalah orang jahat yang bisa menyimpan perbuatan jahat mereka dengan sangat rapi, seolah-olah mereka adalah seorang pemuka agama yang begitu taat beribadah dan aku pastikan juga semua orang pasti tak berpikiran bahwa mereka bertiga ini adalah orang-orang utusan iblis yang terkutuk.
“Marja, bagaimana? Waktumu sudah habis” Orang dengan setelan jas putih, kemeja hitam dengan dasi hitam bercorak abu-abu yang menurutku sangat di sedap dipandang, potongan rambut belah pinggir yang begitu rapi, celana hitam yang kelihatan lipatannya, dan kacamata yang seolah bisa menyembunyikan niat jahat sang pemakainya. Semua begitu rapi dan sangat enak untuk dipandang, tapi bagiku ia hanyalah seekor hyena liar yang memakan bangkai saudaranya sendiri.
“Seandainya aku belum siap bagaimana?” tanya Marja begitu polos, tanpa ada beban dan keraguan seikit pun dalam dirinya. Rasanya aku ingin melawan ketiga keparat sialan itu dengan tanganku sendiri, tapi rasanya aku tak bisa melakukannya. Kekuatanku seorang diri jelas tak sebanding dengan kekuatan mereka bertiga. Aku hanya bertindak realistis, sambil berpikir kritis mencari kelengahan mereka bertiga.

“Siap atau tidak, kau gadis kecil dan seluruh anggota keluargamu termasuk kakak laki-lakimu yang lemah ini, akan menerima akibatnya” balasnya sinis.  
Tagged
Al-Qalam Creative Media
Ditulis Oleh Al-Qalam Creative Media

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

1 comment: