#Sepeda Pertama dan Terakhir
“Ah,
kakak ngga seru nih!” ajakannya begitu kuat. “Kau tunggu saja di luar, kakak
akan segera menyusul” pintaku, sebagai anak pertama, aku harus bisa mandiri.
Saat-saat seperti ini, main dengan Marja, aku pasti membuat sesuatu yang
berbeda dan membuat terkesan. Tapi, kali ini justru dia yang memeberi kejutan
padaku.
“Ayo
kak kita main sepedaan bareng, kakak pake sepeda yang itu!” pandanganku
langsung mengarah ke sepeda tua itu. Begitu tua, tapi masih kuat, sepertinya
ini adalah sepeda paling bagus pada zamannya, cocok denganku. Sementara Marja
juga sama. Pikiranku langsung memastikan bahwa Marja minta dibelikan sepeda
oleh ayah dan ibu dan juga membelikanku sepeda yang sesuai denganku atau bahkan
dia minta dibelikan oleh paman. Ah, maklum anak perempuan, apapun yang diminta
pasti hampir selalu dikabulkan.
Aku
begitu menikmati saat-saat ini. Marja adalah pelita bagiku bahkan di keluargaku
juga begitu. “Marja, ayo kita istirahat dulu dibawah pohon” kali ini aku
mencoba untuk mengambil keputusan lebih dulu. “Yah, kakak, sudah mau istirahat
aja, padahal lagi seru nih!” mukanya agak sedikit ditekuk, tapi aku yakin dia
juga sebenarnya sudah sedikit kelelahan juga, hampir 30 menit kami bersepeda
menaiki bukit, dan kami telah sampai di pohon puncak bukit.
“Coba
kakak tebak, aku dapat sepeda ini dari siapa?” ternyata dia dulu yang memulai
percakapan. “Pasti juga kamu dapat dari hasil meminta kamu sama ayah atau pun
ibu? Atau bahkan dengan paman?” itulah yang sudah pikirkan dari tadi dari
seorang anak manja bernama Marja. Dia hanya bersenyum tipis. Aku tak tahu lagi!
“Salah......
aku dapat dari seseorang yang baik banget” jawaban yang menimbulkan pertanyaan
dibenakku.
“Aslinya Cuma aku yang dikasih, tapi aku minta dibeliin satu lagi buat kakak” pikiranku semakin tak bisa membayangkan lagi. “Awalnya nggak boleh, tapi aku agak sedikit berharap, bukannya aku ngga tahu terima kasih, tapi aku mau barengan sama kakak dan akhirnya boleh tapi ada syaratnya....”
“Aslinya Cuma aku yang dikasih, tapi aku minta dibeliin satu lagi buat kakak” pikiranku semakin tak bisa membayangkan lagi. “Awalnya nggak boleh, tapi aku agak sedikit berharap, bukannya aku ngga tahu terima kasih, tapi aku mau barengan sama kakak dan akhirnya boleh tapi ada syaratnya....”
“Apa
syaratnya?” langsung saja aku mengajukan pertanyaan. Hal ini semakin sulit saja
di petakan. Siapakah yang memberikan ini semua? Apa tujuannya? Kapan dan dimana
Marja bertemu? Kenapa harus Marja? Semua pertanyaan itu terus menghiasi cerebroku. Bukannya menemukan jawaban,
justru pertanyaan ini membuat cerebroku
seolah berhibernasi dan membuat pikiranku semakin berantakan dengannya.
Sejenak
tak ada jawaban langsung dari Marja. Raut wajahnya yang semula menampakkan
kegembiraan seketika berubah menjadi muram. Langit yang tampak cerah seolah
berubah menjadi malam yang gelap. “Mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir
kita”. “Apa? Memang kakak tidak salah dengar? Coba katakan lagi!” sontak aku
merasa terkejut, memang apa yang terjadi? Kenapa Marja merelakan semua
kebahagian ini? Atau bisa dibilang hanya untukku? Kakak macam apa aku yang tak
bisa melindungi adikku, justru adikku lah yang melakukan ini semua untukku.
Dasar kakak yang tidak tahu diri. Semua penyesalan itu menjalar dalam diriku,
seketika aku menjadi orang yang paling bersalah dan aku menganggap ini adalah
kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan.
“Bisa
jadi ini adalah pertemuan terakhir kita, kak” perkataan itu terulang lagi. Tanpa
ada keraguan dan jelas dalam penyampaian menandakan bahwa Marja serius
mengucapkannya. “Tapi, kenapa bisa terjadi seperti ini? Coba tolong ceritakan
semuanya kepada kakak” pintaku, aku ingin mengetahuinya secara jelas.
“Begini
kak ceritanya..” hatiku langsung membeku seperti benua antartika, perasaanku
seolah tenggelam bersama Fir’aun di laut mediterania, hatiku kacau berantakan
terbawa gelombang banjir besar Nabi Nuh.
“Semua
begitu cepat kejadiannya, 3 orang datang menghampiriku yang waktu itu sedang menemani
paman bekerja, dengan muka jahatnya, ia bertanya, ‘kau Marja?’, aku jawab saja
‘iya’, kemudian ia menarikku dan seketika itu paman langsung melindungiku dan
berancang-ancang ingin bertarung, kemudian orang yang menurutku mukanya seperti
hiu berkata, ‘kau siapa? Lebih baik kau minggir, atau kau dalam masalah!’,
ancamannya begitu sadis, sederhana namun sangat tajam menusuk...”
Seketika
itu Marja berhenti bercerita, “Demi Tuhan Gashendo, mereka kesini”. Tiga orang
dengan menggunakan setelan pakaian yang rapi dan tak menampakkan gerak-gerik
penjahat sedikitpun mendekati kami. Tak sampai kami berdiri, mereka bertiga
telah sampai didepan kami. Pandangan pertama itu aku langsung bisa menilai,
bahwa mereka adalah orang jahat yang bisa menyimpan perbuatan jahat mereka
dengan sangat rapi, seolah-olah mereka adalah seorang pemuka agama yang begitu
taat beribadah dan aku pastikan juga semua orang pasti tak berpikiran bahwa
mereka bertiga ini adalah orang-orang utusan iblis yang terkutuk.
“Marja,
bagaimana? Waktumu sudah habis” Orang dengan setelan jas putih, kemeja hitam
dengan dasi hitam bercorak abu-abu yang menurutku sangat di sedap dipandang,
potongan rambut belah pinggir yang begitu rapi, celana hitam yang kelihatan
lipatannya, dan kacamata yang seolah bisa menyembunyikan niat jahat sang
pemakainya. Semua begitu rapi dan sangat enak untuk dipandang, tapi bagiku ia
hanyalah seekor hyena liar yang memakan bangkai saudaranya sendiri.
“Seandainya
aku belum siap bagaimana?” tanya Marja begitu polos, tanpa ada beban dan
keraguan seikit pun dalam dirinya. Rasanya aku ingin melawan ketiga keparat
sialan itu dengan tanganku sendiri, tapi rasanya aku tak bisa melakukannya.
Kekuatanku seorang diri jelas tak sebanding dengan kekuatan mereka bertiga. Aku
hanya bertindak realistis, sambil berpikir kritis mencari kelengahan mereka
bertiga.
“Siap
atau tidak, kau gadis kecil dan seluruh anggota keluargamu termasuk kakak
laki-lakimu yang lemah ini, akan menerima akibatnya” balasnya sinis.
Ngga dibuat novel aja nih sekalian...
ReplyDelete