-->
Tuesday 12 December 2023

 

Kemisikinan merupakan momok yang menghantui bagi setiap negara di dunia, terlebih negara berkembang, sebagaimana Indonesia. Hingga hari ini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi masalah yang sangat krusial. Istilah kemiskinan, bila meminjam pendapat dari Amartya Sen dalam bukunya “Development as Freedom” , yakni bukan lagi sekedar masalah kesenjangan pendapatan (income discrepancy), lebih jauh lagi menyangkut ketidakberdayaan (incapability), ketiadaan pengetahuan dan keterampilan (lack Of Knowledge and skills),  dan kelangkaan akses pada modal dan sumber daya (scarcity of capital and resource). Elemen dasarnya berupa pendidikan yang memainkan peran sentral dalam mengatasi kemiskinan. Dengan pendidikan yang baik, akan menelurkan human capability yang memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan(Sen, 2000). Sehingga memudahkan untuk mendapat pekerjaan dan meningkatkan pendapatan (income).

Hal ini selaras dengan salah satu kesepakatan Indonesia pada   (Millenium Development Goals) MDGs pada tahun 2015 yang menargetkan pendidikan untuk semua (Education For All). Menyoal pendidikan dewasa ini, kita perlu merefleksi keseriuasan pemerintah terhadap pendidikan. Terlebih lagi, dunia pendidikan kini tengah carut-marut akibat efek domino wabah Covid-19. Lalu apa dampaknya covid-19 dengan dunia pendidikan di Indonesia? Pandemi covid-19 bukan hanya berimbas terhadap tersendatnya proses pembelajaran, yang semula dilakukan konvensional (tatap muka), kini beraih menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara online, melainkan juga mengancam peserta didik putus sekolah secara permanen. UNESCO pada bulan Mei 2020 merilis bahwa sebanyak 1,6 miliar pelajar terpaksa diliburkan dari sekolah dan universitas.

Seturut dengan penyebaran covid-19 yang berdampak pada pendidikan, ia juga bertaut dengan kemiskinan. Sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada bulan Maret 2020, ketika virus  Covid-19 baru berumur dua bulan melanda Indonesia, angka kemiskinan sudah mencapai 26,42 juta jiwa. Jika dibandingkan di tahun 2019, maka jumlahnya naik di angka 1,6 juta jiwa. Angka ini kian merangkak naik seturut dengan penyebaran Covid-19 yang belum mereda. Keluarga miskin, akan kehilangan sumber pendapatan (income) dengan biaya untuk sekolah anaknya. Mengutip data UNESCO antara 90 sampai 117 juta anak di seluruh dunia dihadapkan langsung dengan kemiskinan akibat wabah Covid-19. Dengan kata lain, akan diikuti persoalan turunannya yang sangat fundamental: pendidikan. Konsekuensi dari kemiskinan tersebut, hampir 10 juta anak (peserta didik) terancam putus sekolah secara permanen(antara news). Bagi anak perempuan mereka disuruh menikah (pernikahan dini) untuk mengurangi beban ekonomi. Sementara bagi anak laki-laki terpaksa (forgone earning) harus bekerja guna membantu beban ekonomi keluarganya. Darurat pendidikan itu juga yang sedang dialami pendidikan di Indonesia.

Berdasarkan situasi kiwari ini, negara perlu hadir memfasilitasi pendidikan kaum miskin. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mas Nadiem Makarim perlu mengkaji ulang Program Jarak Jauh (PJJ) yang terbukti gagal. Membagi-bagikan kouta internet ibarat “meninabobokan” peserta didik ancaman begitu nyata dan kompleks. Hal ini disebabakan, adanya kesenjangan teknologi antara masyarakat kota dengan pelosok desa, antara peserta didik yang kaya dengan peserta didik yang miskin. Terlebih lagi, infrastruktur digital pada dunia pendidikan belum dipersiapkan sedari awal untuk menghadapi laku pembelajaran yang mekanistik-sentralistik.

Sementara jika kita periksa secara komprehensif darurat pendidikan di masa pandemi, ada daya tahan sosial dari kaum miskin yang perlu diperhitungkan. Pembagian paket sembako yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bukan untuk memenuhi infrastruktur pembelajaran di tengah badai pandemi. Itu menandakan kebijakan yang digulirkan pemerintah, tidak pernah memperhitungkan daya tahan sosial dari aspek pendidikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Eko Prasetyo dalam bukunya “Orang Miskin Dilarang Sekolah”, bahwa sekolah bagi kaum miskin tak ubahnya sebuah komedi yang patut dirayakan. Begitu masuk, peristiwa kegetiran mulai dicecap. Sedang bagi kaum kaya, sekolah ialah satu langkah awal menuju kejayaan dalam hidupnya yang gemilang(Prasetyo, 2004). Begitulah hukum sosio-ekonomi dirancang oleh para pemodal agen tersembunyi. Kaum miskin tidak punya pilihan selain harus menerima warisan kemiskinan orang tuanya: leluhurnya

Pendidikan tidak pernah memihak pada kaum miskin. Karena memang pendidikan tidak didesain untuk membuat mobilitas vertikal dari kelas menengah-bawah menjadi kelas atas(Redja, 2004). Akhirnya kita menyadari apa yang dikritik oleh Freire, tanpa kesadaran tidak akan melahirkan critical language dan critical subjectivity. Sebab, dalam liberasi pendidikan bukan kesadaran yang menjadi metode, melainkan kapital yang membuka gembok keberhasilan. Kini masyarakat menunggu gebrakan kebijakan pendidikan yang “out side the box”. Kebijakan yang nantinya akan memberikan suatu jaminan kepada peserta didik untuk tetap dapat mengakses pendidikan di tengah kepungan pandemi ini. Dalam perspektif etis pedagogi kritis, peserta didik harus menjadi pusat pembelajaran(H.A.R Tilar, 2011) . Dengan kata lain, aktivitas pembelajaran harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik itu sendiri.

Dengan adanya Covid-19 secara mengejutkan membuat dunia pendidikan “jungkir balik” bertransformasi menjadi digitalisasi pendidikan. Perubahan yang drastic ini menyisakan masalah terhadap peserta didik kaum miskin. Sebab, diperlukan akses berupa teknologi dalam kelancaran PJJ yang belum tentu dimiliki. Namun, yang membuat saya tidak habis piker adalah pemerintah memandang situasi genting ini sebagai celah untuk melompat lebih jauh dalam mengkampanyekan dan memanifestasikan digitalisasi pendidikan. Dengan dalil modernitas, pemerintah memandang digitalisasi pendidikan adalah sebuah konsekuensi logis dari perubahan zaman. Sebagaimana wacana yang beredar di berbagai media, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, akan memulai terobosan digitalisasi sekolah di tahun 2021. Digitalisasi pendidikan sendiri hanya salah satu instrumen dalam mengaktualisasikan pendidikan di era fordisme (pasca-industri).

Apabila model pendidikan seperti ini terus dilanggengkan, maka pendidikan sebagai modal bangsa di masa depan hanya akan  menjadi alat reproduksi sosial yang melanggengkan status quo: kelas sosial di masyarakat. Itulah ongkos sosial yang harus ditanggung di kemudian hari: distingsi (yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap hidup dalam garis kemiskinan). Seharusnya, Jika pemerintah menganggap digitalisasi pendidikan merupakan keniscayaan. Semestinya yang harus diedarkan dari awal ialah pendidikan yang berkeadilan sosial: keadilan harus tiba mendahului kemajuan. Pendeknya, pendidikan yang berkepihakan. Darurat pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan PJJ selama ini berjalan lancar, meskipun masih banyak menyisakan persoalan yang pelik. Sebagaimana pembelajaran yang mengalami penyesuaian, kurikulum yang ada saat ini mesti mengalami penyesuaian.

Kurikulum pendidikan saat ini harus ditinjau dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat lingkungan alam sekitar, sosial, ekonomi, budaya dan kebutuhan siswa di daerah tersebut. Bentuk kuurikulum dapat di desain berbasis local diintegrasikan dengan kurikulum sekolah sehingga kurikulum berbasis lokal memfasilitasi sinergi tripusat pendidikan dalam kegiatan pembelajaran. Pada praktiknya, diperlukan seuah consensus antara pihak sekolah dengan masyarakat dalam mewujudkan kurikulum darurat berbasis local. Kegiatan pembelajaran tetap dilaksanakan dengan pembelajaran jarak jauh dengan bimbingan dari guru, orangtua dan masyarakat. Oleh karena itu, peran tripusat pendidikan akan memberikan alternatif pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengalaman masing-masing.

            Kurikulum darurat berbasis darurat membutuhkan beberbagai peran, pertama guru dan orangtua sebagai fasilitator. Tupoksinya berupa kerjasama dengan orang tua dan tokoh masyarakat yang dapat terkoneksi dengan media social. Kedua, integrasi dan interkoneksi masyarakat dalam pelaksanaan kurikulum darurat.  Hal ini berakibat pada menjadikan pemerintah desa, masyarakat dan orang tua harus menjadi sumber belajar utama bagi peserta didik. Dalam proses pembelajaran, dibutuhkan pendampingan agar peserta didik belajar dengan benar. Sedangkan pemerintah desa, ia dapat melakukan kerjasama dengan platform jaringan internet untuk membantu peserta didik selama PJJ. Ketiga, perubahan paradigma tujuan pembelajaran, target bukan pada pencapaian kurikulum sekolah tetapi penanaman pelaksanaan kegiatan atau keterampilan agama dan pencegahan pandemi Covid-19.  

Perubahan paradigma dalam pencegahan pendemi Covid-19 ini terjadi pada proses pelaksanaan pelajaran yang meliputi: (1) Perubahan padadigma pada guru yaitu disini guru tidak lagi pendampingi siswa dalam proses belajar. (2) Perubahan paradigma peserta didik, di ssni siswa belajar atau mendapatkan ilmu dari lingkungan sekitar keluarga bahkan masyarakat. (3) Perubahan paradigma pada sumber belajar, sumber belajar dapat dilakukan dengan apapun misalnya dari Koran, majalah, televisi ataupun radio. Sumber belajar yang beragam tersebut menjadikan siswa paham dan menambah pengetahuan secara luas. (4) Perubahan paradigma proses belajar, proses belajar yang dibatasi diruang kelas sehingga belajar peserta didik kurang kooperatif. Pelaksanaan kurikulum darurat ini dilakuakn dengan tempat dan kondisi sesuai dengan kesenangan peserta didik, selain itu peserta didik juga dapat belajar dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan masyarakat tenpat tinggal siswa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BACAAN

            Prasetyo, Eko. 2004. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book.

            H.A.R Tilaar dkk. 2011. Pedagogic Kritis: Perkembangan Substansi, Dan Perkembangan di Indonesia. Jakarta: Rieneka Cipta.

Redja, Nuhdyahardjo. 2004. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sen, Amartya Kumar. 2000. Development as Freedom. New York: Anchor Books.

Yashinta, Difa. 2020. Hadapi Covid-19, Indonesia Dorong UNESCO Prioritaskan Pendidikan. Dalam AntaraNews. 3 Juli 2020. Jakarta.

Tagged
Al-Qalam Creative Media
Ditulis Oleh Al-Qalam Creative Media

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar