Kemisikinan merupakan momok
yang menghantui bagi setiap negara di dunia, terlebih negara berkembang,
sebagaimana Indonesia. Hingga hari ini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi masalah
yang sangat krusial. Istilah kemiskinan, bila meminjam pendapat dari Amartya
Sen dalam bukunya “Development as
Freedom” , yakni bukan lagi sekedar masalah kesenjangan pendapatan (income discrepancy), lebih jauh lagi
menyangkut ketidakberdayaan (incapability),
ketiadaan pengetahuan dan keterampilan (lack
Of Knowledge and skills), dan
kelangkaan akses pada modal dan sumber daya (scarcity
of capital and resource). Elemen dasarnya berupa pendidikan yang memainkan
peran sentral dalam mengatasi kemiskinan. Dengan pendidikan yang baik, akan
menelurkan human capability yang
memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan(Sen, 2000). Sehingga memudahkan
untuk mendapat pekerjaan dan meningkatkan pendapatan (income).
Hal ini selaras dengan salah
satu kesepakatan Indonesia pada (Millenium
Development Goals) MDGs pada tahun 2015 yang menargetkan pendidikan untuk
semua (Education For All). Menyoal pendidikan dewasa ini, kita perlu merefleksi
keseriuasan pemerintah terhadap pendidikan. Terlebih lagi, dunia pendidikan
kini tengah carut-marut akibat efek domino wabah Covid-19. Lalu apa dampaknya
covid-19 dengan dunia pendidikan di Indonesia? Pandemi covid-19 bukan hanya berimbas
terhadap tersendatnya proses pembelajaran, yang semula dilakukan konvensional
(tatap muka), kini beraih menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara online, melainkan
juga mengancam peserta didik putus sekolah secara permanen. UNESCO pada bulan Mei 2020 merilis bahwa sebanyak
1,6 miliar pelajar terpaksa diliburkan dari sekolah dan universitas.
Seturut dengan penyebaran
covid-19 yang berdampak pada pendidikan, ia juga bertaut dengan kemiskinan.
Sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada
bulan Maret 2020, ketika virus Covid-19
baru berumur dua bulan melanda Indonesia, angka kemiskinan sudah mencapai 26,42
juta jiwa. Jika dibandingkan di tahun 2019, maka jumlahnya naik di angka 1,6
juta jiwa. Angka ini kian
merangkak naik seturut dengan penyebaran Covid-19 yang belum mereda. Keluarga
miskin, akan kehilangan sumber pendapatan (income)
dengan biaya untuk sekolah anaknya. Mengutip data UNESCO
antara 90 sampai 117 juta anak di seluruh dunia dihadapkan langsung dengan
kemiskinan akibat wabah Covid-19. Dengan kata lain, akan diikuti persoalan
turunannya yang sangat fundamental: pendidikan. Konsekuensi dari kemiskinan
tersebut, hampir 10 juta anak (peserta didik) terancam putus sekolah secara
permanen(antara news).
Bagi anak perempuan mereka disuruh menikah (pernikahan dini) untuk mengurangi
beban ekonomi. Sementara bagi anak laki-laki terpaksa (forgone
earning) harus bekerja guna membantu beban ekonomi
keluarganya. Darurat pendidikan itu juga yang sedang dialami pendidikan di
Indonesia.
Berdasarkan situasi kiwari
ini, negara perlu hadir memfasilitasi pendidikan kaum miskin. Oleh sebab itu,
sudah sepantasnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mas Nadiem Makarim perlu
mengkaji ulang Program Jarak Jauh (PJJ) yang terbukti gagal. Membagi-bagikan
kouta internet ibarat “meninabobokan” peserta didik ancaman begitu nyata dan
kompleks. Hal ini disebabakan, adanya kesenjangan teknologi antara masyarakat
kota dengan pelosok desa, antara peserta didik yang kaya dengan peserta didik
yang miskin. Terlebih lagi, infrastruktur digital pada dunia pendidikan belum
dipersiapkan sedari awal untuk menghadapi laku
pembelajaran yang mekanistik-sentralistik.
Sementara
jika kita periksa secara komprehensif darurat pendidikan di masa pandemi, ada
daya tahan sosial dari kaum miskin yang perlu diperhitungkan. Pembagian paket
sembako yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, bukan untuk memenuhi infrastruktur pembelajaran di
tengah badai pandemi. Itu menandakan kebijakan yang digulirkan pemerintah,
tidak pernah memperhitungkan daya tahan sosial dari aspek pendidikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Eko Prasetyo dalam
bukunya “Orang Miskin Dilarang Sekolah”, bahwa sekolah bagi kaum miskin tak
ubahnya sebuah komedi yang patut dirayakan. Begitu masuk, peristiwa kegetiran
mulai dicecap. Sedang bagi kaum kaya, sekolah ialah satu
langkah awal menuju kejayaan dalam hidupnya yang gemilang(Prasetyo, 2004). Begitulah hukum
sosio-ekonomi dirancang oleh para pemodal agen tersembunyi. Kaum miskin tidak
punya pilihan selain harus menerima warisan kemiskinan orang tuanya: leluhurnya
Pendidikan
tidak pernah memihak pada kaum miskin. Karena memang pendidikan tidak didesain
untuk membuat mobilitas vertikal dari kelas menengah-bawah menjadi kelas atas(Redja, 2004). Akhirnya kita
menyadari apa yang dikritik oleh Freire, tanpa kesadaran tidak akan
melahirkan critical language dan critical subjectivity.
Sebab, dalam liberasi pendidikan bukan kesadaran yang menjadi metode, melainkan
kapital yang membuka gembok keberhasilan. Kini masyarakat menunggu gebrakan
kebijakan pendidikan yang “out side the
box”. Kebijakan yang nantinya akan memberikan suatu jaminan kepada peserta
didik untuk tetap dapat mengakses pendidikan di tengah kepungan pandemi ini.
Dalam perspektif etis pedagogi kritis, peserta didik harus menjadi pusat
pembelajaran(H.A.R Tilar,
2011) . Dengan kata lain, aktivitas pembelajaran harus
disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik itu sendiri.
Dengan adanya Covid-19 secara
mengejutkan membuat dunia pendidikan “jungkir balik” bertransformasi menjadi
digitalisasi pendidikan. Perubahan yang drastic ini menyisakan masalah terhadap
peserta didik kaum miskin. Sebab, diperlukan akses berupa teknologi dalam
kelancaran PJJ yang belum tentu dimiliki. Namun,
yang membuat saya tidak habis
piker adalah pemerintah memandang situasi genting ini
sebagai celah untuk melompat lebih jauh dalam mengkampanyekan dan
memanifestasikan digitalisasi pendidikan. Dengan dalil modernitas, pemerintah
memandang digitalisasi pendidikan adalah sebuah konsekuensi logis dari
perubahan zaman. Sebagaimana wacana yang beredar di berbagai media, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, akan memulai terobosan
digitalisasi sekolah di tahun 2021. Digitalisasi pendidikan sendiri hanya salah
satu instrumen dalam mengaktualisasikan pendidikan di era fordisme
(pasca-industri).
Apabila model pendidikan
seperti ini terus dilanggengkan, maka pendidikan sebagai modal bangsa di masa
depan hanya akan menjadi alat reproduksi sosial yang
melanggengkan status quo: kelas sosial di masyarakat. Itulah ongkos sosial yang
harus ditanggung di kemudian hari: distingsi (yang kaya semakin kaya dan yang
miskin tetap hidup dalam garis kemiskinan). Seharusnya, Jika pemerintah
menganggap digitalisasi pendidikan merupakan keniscayaan. Semestinya yang harus
diedarkan dari awal ialah pendidikan yang berkeadilan sosial: keadilan harus
tiba mendahului kemajuan. Pendeknya, pendidikan yang berkepihakan. Darurat pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah
dengan PJJ selama ini berjalan lancar, meskipun masih banyak menyisakan
persoalan yang pelik. Sebagaimana pembelajaran yang mengalami penyesuaian,
kurikulum yang ada saat ini mesti mengalami penyesuaian.
Kurikulum pendidikan saat ini harus ditinjau dan
disesuaikan dengan kondisi masyarakat lingkungan alam
sekitar, sosial, ekonomi, budaya dan kebutuhan siswa di daerah tersebut. Bentuk kuurikulum dapat di desain berbasis local diintegrasikan
dengan kurikulum sekolah sehingga kurikulum berbasis lokal memfasilitasi
sinergi tripusat pendidikan dalam kegiatan pembelajaran. Pada praktiknya, diperlukan seuah consensus antara
pihak sekolah dengan masyarakat dalam mewujudkan kurikulum darurat berbasis
local. Kegiatan pembelajaran tetap dilaksanakan
dengan pembelajaran jarak jauh dengan bimbingan dari guru, orangtua dan
masyarakat. Oleh karena itu, peran tripusat pendidikan akan memberikan
alternatif pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengalaman
masing-masing.
Kurikulum darurat berbasis darurat membutuhkan
beberbagai peran, pertama guru
dan orangtua sebagai fasilitator.
Tupoksinya berupa kerjasama dengan orang tua dan tokoh masyarakat yang dapat
terkoneksi dengan media social. Kedua,
integrasi dan interkoneksi masyarakat dalam pelaksanaan kurikulum darurat. Hal ini berakibat pada menjadikan pemerintah
desa, masyarakat dan orang tua harus menjadi sumber belajar utama bagi peserta
didik. Dalam proses
pembelajaran, dibutuhkan pendampingan agar peserta didik belajar dengan benar.
Sedangkan pemerintah desa, ia dapat melakukan kerjasama dengan platform
jaringan internet untuk membantu peserta didik selama PJJ. Ketiga,
perubahan paradigma tujuan pembelajaran, target bukan pada pencapaian kurikulum
sekolah tetapi penanaman pelaksanaan kegiatan atau keterampilan agama dan
pencegahan pandemi Covid-19.
Perubahan
paradigma dalam pencegahan pendemi Covid-19 ini terjadi pada proses pelaksanaan
pelajaran yang meliputi: (1) Perubahan padadigma pada guru yaitu disini guru
tidak lagi pendampingi siswa dalam proses belajar. (2) Perubahan paradigma peserta didik, di ssni
siswa belajar atau mendapatkan ilmu dari lingkungan sekitar keluarga bahkan
masyarakat. (3) Perubahan paradigma pada sumber belajar, sumber belajar dapat
dilakukan dengan apapun misalnya dari Koran, majalah, televisi ataupun radio.
Sumber belajar yang beragam tersebut menjadikan siswa paham dan menambah
pengetahuan secara luas. (4) Perubahan paradigma proses belajar, proses belajar
yang dibatasi diruang kelas sehingga belajar peserta didik kurang kooperatif.
Pelaksanaan kurikulum darurat ini dilakuakn dengan tempat dan kondisi sesuai
dengan kesenangan peserta didik, selain itu peserta didik juga dapat belajar
dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan masyarakat tenpat tinggal
siswa.
BACAAN
Prasetyo,
Eko. 2004. Orang Miskin Dilarang Sekolah.
Yogyakarta: Resist Book.
H.A.R
Tilaar dkk. 2011. Pedagogic Kritis:
Perkembangan Substansi, Dan Perkembangan di Indonesia. Jakarta: Rieneka
Cipta.
Redja, Nuhdyahardjo. 2004. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sen, Amartya Kumar. 2000. Development as Freedom. New York: Anchor
Books.
Yashinta, Difa. 2020. Hadapi Covid-19, Indonesia Dorong UNESCO
Prioritaskan Pendidikan. Dalam AntaraNews. 3 Juli 2020. Jakarta.
0 komentar