Kelam, tak ada yang bisa dipandang, aku layaknya tunanetra. itu yang tergambar dari sorot mata, sewaktu aku terjaga di tempat ini. Entah itu dari tidur atau sesuatu hal lain, yang membuatku tak sadarkan diri. Sebab aku manusia normal, terbiasa tidur saat malam hari dan saat kantuk datang menghinggap. Yang jelas aku teguh berpendapat, mata ini terlelap bukan karena mengantuk.
Ya, aneh rasanya. Bagiamana tidak, kepalaku kini terasa sakit, seperti terbentur suatu benda keras nan tajam. Benar saja, ketika jemari mengusap, pelipis robek menyisakan darah yang telah mendaging. Begitu juga dengan ruangan dimana aku terlelap. Sunyi, keadaan sekitar kelam sekali. Hanya seberkas sinar yang menerpa mata, kukira sinar ini yang membuatku terbangun.
Aku coba meraba keadaan, tangan kugerakan ke segala arah. Tapi tak ada satu pun yang dapat kujangkau. Lengan ini hanya menangkap serat-serat yang kukira sarang laba-laba.
Celana yang kukenakan sakunya bergetar, ada panggilan masuk. kududukan raga ini sebisa mungkin, lalu kurogoh saku dari celana berbahan dasar jeans dan kudapatkan ponselku. Di layar tercantum satu kata yang tetulis ‘my jelek’. Siapa ini? aneh sekali ia punya nama, Tanya batinku.
“Halo, ra. syukurlah tuhan masih sayang padamu” ucapnya cemas. Tunggu dulu, ia menyebutku dengan sebutan ra. Siapa itu ra? Aku binggung tidak mengerti.Celana yang kukenakan sakunya bergetar, ada panggilan masuk. kududukan raga ini sebisa mungkin, lalu kurogoh saku dari celana berbahan dasar jeans dan kudapatkan ponselku. Di layar tercantum satu kata yang tetulis ‘my jelek’. Siapa ini? aneh sekali ia punya nama, Tanya batinku.
“Ini siapa? Disini gelap”
“gelap? Ok tenang ra! Jangan matiin teleponnya ya”
“Iya, tapi ini siapa? Kenapa aku bisa di tempat kelam pekat begini?”
“Ini aku ra, Apa Kamu tak mengenali suaraku” jawabnya keheranan. Aku sama herannya, nama orang yang menghubungiku berbeda dengan nama di kontak ponselku. “Mhh.. ok ok. Aku ceritakan kalau kamu sudah kutemukan” ujarnya mengakhiri
“Oh.. baiklah” ucapku singkat
“gelap? Ok tenang ra! Jangan matiin teleponnya ya”
“Iya, tapi ini siapa? Kenapa aku bisa di tempat kelam pekat begini?”
“Ini aku ra, Apa Kamu tak mengenali suaraku” jawabnya keheranan. Aku sama herannya, nama orang yang menghubungiku berbeda dengan nama di kontak ponselku. “Mhh.. ok ok. Aku ceritakan kalau kamu sudah kutemukan” ujarnya mengakhiri
“Oh.. baiklah” ucapku singkat
Orang itu sudah tak bersuara, di ujung telepon, kini terdengar suara gaduh “krasak krusuk” berulang kali. Kurasa ia sedang berlari sambil menggengam ponsel. Lalu keadaan di ujung telepon berubah, terdengar suara riuh bagaikan di pasar. Mungkin orang itu sedang berada di tengah kerumunan orang. Disusul dengan suara sirine yang khas “ngiung… ngiung…” terdengar gaduh sekali. namun lama-lama suara itu mengecil lalu menghilang.
“Halo ra” ia kembali berbicara
“Iya”
“Coba ceritain, posisi kamu ada dimana?”
“Disini gelap”
“Ok aku tau disana gelap, mhh.. terus kamu lagi duduk atau berdiri”
“Posisiku duduk ada, setitik lubang kecil bercahaya di atas sana”
“Cahaya? Mhh… cahayanya dari arah atas atau…”
“Dari atas, tapi sulit kugapai”
“Iya”
“Coba ceritain, posisi kamu ada dimana?”
“Disini gelap”
“Ok aku tau disana gelap, mhh.. terus kamu lagi duduk atau berdiri”
“Posisiku duduk ada, setitik lubang kecil bercahaya di atas sana”
“Cahaya? Mhh… cahayanya dari arah atas atau…”
“Dari atas, tapi sulit kugapai”
Terdengar suara bisik-bisik di ujung telepon, tak kudengar jelas percakapan apa, yang jelas batinku bertanya dimanakah aku berada, lalu siapa pria di ujung telepon?
Lama tak kudengar lagi suara di ujung telepon, hingga perhatianku tertuju pada bunyi “Tik.. tik.. tik..” suara apa itu? Bulu romaku kompak berdiri, membuat lemah jemari yang menggenggam telepon. Dalam kelam, sepasang bola mata ini bergerak ke kiri, kanan, lalu ke atas dan ke bawah mencari sumber suara. namun percuma, aku tak dapat melihat apa-apa di kegelapan ini. Suara itu konstan saja, tidak semakin keras maupun sebaliknya.
Namun, tiba-tiba setitik ciran jatuh, dan mendarat di hidungku. Cairan itu licin, berbau tajam dan ada sensasi panas sesaat di hidungku. Cairan apa ini? Lagi aku bertanya dengan batin.
Kuarahkan pandangan ke atas, Oh tidak, mana lubang tadi? kini tak kujumpai setitik cahaya itu. Tempat macam apa ini. Sudah kelam tak jua membuat hati ini tenang. Hal ini harus segera kuberi tahu pada orang itu. Dengan cepat aku berusaha bersuara.
“Halo.., lubang cahaya itu hilang” ucapku, beberapa detik ku terdiam, namun tak ada jawaban. Di ujung telepon hanya ada suara krasak-krusuk yang terdengar berulang kali.
“Halo.. lubang cahayanya hilang” kembali aku berucap, ia masih tak bersuara.
“Halo.. lubang cahayanya hilang” kembali aku berucap, ia masih tak bersuara.
Tak ada sahutan datang dari ujung telepon, membuat detak jantungku serasa menaik, berdebar-debar tidak terkendali. Cairan yang jatuh ke hidungku tadi kembali mendarat di tempat yang sama berulang kali. Mengapa aku tak bisa tenang, keadaan ini sungguh menyebalkan. Kini yang bisa kulakan hanya menumpukan sepuluh jari di mukaku.
Aku masih dalam keadaan terduduk, ingin rasanya berdiri tapi tak mampu. Aku baru menyadari, sekedar menggerakkan kaki saja sulit, apalagi untuk tegak berdiri, sepertinya ada luka dalam pada kakiku.
Aku masih dalam keadaan terduduk, ingin rasanya berdiri tapi tak mampu. Aku baru menyadari, sekedar menggerakkan kaki saja sulit, apalagi untuk tegak berdiri, sepertinya ada luka dalam pada kakiku.
Jemari menari mencoba meraba dimana aku terduduk kini. Lantai yang kududuki rasanya terbuat dari besi. Hati kecilku mengira aku berada di dalam sebuah drum minyak besar. Sebab hidungku sudah mandi dengan cairan seperti minyak. Tapi cepat kusanggah, bila memang seperti itu bagaimana caranya aku bisa masuk. Secara nalar drum minyak yang biasa kulihat hanya memiliki lubang yang kecil.
Dalam kelam jemari ini menyentuh sesuatu. Lagi, itu sebuah cairan, namun ini tidak licin layaknya minyak. Ini lembek, apakah ini t*i? Oh tidak, kalau benar, ini sungguh menjijikan. Kuulang menyentuhnya. Ini kesat, sepertinya ini tanah, ya ini tanah. Tanah yang berbaur dengan air.
Aku menduga, mungkin aku disekap di ruang bawah tanah. Sebentar, ini tidak mungkin, mana ada ruang bawah tanah beralaskan layaknya selembar besi. Namun bisa saja, biasanya ruang bawah tanah, pasti beruangan gelap. Ah ini membingungkan
Ada suara di ujung telepon
Ada suara di ujung telepon
“Halo ra”
“Halo…” pekikku “lubang cahayanya menghilang. Ada cairan yang jatuh ke hidungku” ucapku panik
“Ok ra tenang ya”
“Aku takut! Sebenarnya aku ada dimana? Beritau aku!” Tensi ku meninggi.
“Ra kamu harus bisa tenang ya. Aku juga lagi cari kamu”
“Beritau aku sekarang!!!” Jawabku sinis
“Ra!!!” nadanya seakan membentakku, rasanya hatiku benar-benar lunak, nafasku seakan tertahan di dada. Sedih, aku ingin menangis.
“Kenapa kamu bentak aku? Apa salah aku bertanya” aku mulai terisak
“Rara sayang” ia memanggilku dengan kata sayang? “kamu harus tenang ya.. aku akan segera menemukanmu sayang” kata-katanya melunak, sepertinya itu tulus, dan entah mengapa rasa takutku menghilang.
“Rara, hallooo ra”
“Segera temukan aku, jelek”
“Hahaha” ia tertawa, apa ada yang lucu pikirku “hahaha.. hahaha” ia tertawa lepas, heran, aku kan hanya menyebut namanya sesuai kontak di hp ku.
“Halo…” pekikku “lubang cahayanya menghilang. Ada cairan yang jatuh ke hidungku” ucapku panik
“Ok ra tenang ya”
“Aku takut! Sebenarnya aku ada dimana? Beritau aku!” Tensi ku meninggi.
“Ra kamu harus bisa tenang ya. Aku juga lagi cari kamu”
“Beritau aku sekarang!!!” Jawabku sinis
“Ra!!!” nadanya seakan membentakku, rasanya hatiku benar-benar lunak, nafasku seakan tertahan di dada. Sedih, aku ingin menangis.
“Kenapa kamu bentak aku? Apa salah aku bertanya” aku mulai terisak
“Rara sayang” ia memanggilku dengan kata sayang? “kamu harus tenang ya.. aku akan segera menemukanmu sayang” kata-katanya melunak, sepertinya itu tulus, dan entah mengapa rasa takutku menghilang.
“Rara, hallooo ra”
“Segera temukan aku, jelek”
“Hahaha” ia tertawa, apa ada yang lucu pikirku “hahaha.. hahaha” ia tertawa lepas, heran, aku kan hanya menyebut namanya sesuai kontak di hp ku.
Tapi rasanya, tidak sekali ini aku menyebut seorang umat nabi adam dengan sebutan jelek. Aku coba mengingatnya, namun tak utuh dan samar-samar terasa.
Pikiranku kini menerawang. Hati kecilku bertanya, siapa sosok yang kusebut jelek. Lalu terbayang di hadapanku, saat itu hari hujan lebat. Dalam jas hujan aku memeluk seseorang, ia mengendarai sebuah motor roda dua dengan body motor yang besar, dan aku di belakangnya.
Lalu, pikiranku melompat, keadaan berubah. Kini terbayang, aku sedang menunggu sebuah bus bersamanya. Tepat di depan tebing yang memanjang mengikuti daerah perbukitan. Dan setelah menunggu lama bus pun datang, nampaknya belum berpenumpang.
Lagi, pikiranku melompat, kini terbayang hujan semakin lebat, aku mendadahi seseorang berjambang dan berjanggut tipis dari balik kaca bus. Orang itu membalas lambaian tanganku, meski matanya tak nampak, karena ia sedang menggenakan sebuah jas hujan. Dan kembali pikiranku melompat, kini aku menatap bukit dari balik jendela bus yang ada di seberang kursi yang kududuki.
Tebing itu mendadak amblas dan melongsorkan banyak tanah. Aku menatap penuh kejadian itu, oh tidak longsor itu menabrak sisi medan bus dan mendorong bus menuju jurang di sisi sebaliknya.
Saat itu aku serasa terguling-guling di atas bus yang menunjukan gejala yang sama. Lalu bayang-bayang itu samar-samar di pikiranku, bagaikan layar tv yang rusak seperti dikerubuni semut-semut.
“Duarrrr” aku terkejut ada gemercik api di atas kepalaku.
Memang bulu roma tidak berdiri, tapi rohku seakan terbang beberapa detik meninggalkan tubuh ini. Mulai panik, semua tulang di badanku terasa lemas. Kusembunyikan mukaku di antara sepuluh jari.
Takut, aku takut, aku takuuut.
Takut, aku takut, aku takuuut.
“Halo.. halo.. ada percikan api di atas.. ada percikan api di atas” ucapku cemas
“Ok.. ok.. Tenang ra. Kamu mundur saja pelan-pelan ok.
“Cepat temukan aku!!!” Aku memelas berharap ia segera menolong nyawaku.
“Dengar kataku ra ‘tenang’ jangan panik. Semakin kamu panik, semakin susah aku dapat informasi dari kamu!!!” Jawabnya membentak
“Ok.. ok.. Tenang ra. Kamu mundur saja pelan-pelan ok.
“Cepat temukan aku!!!” Aku memelas berharap ia segera menolong nyawaku.
“Dengar kataku ra ‘tenang’ jangan panik. Semakin kamu panik, semakin susah aku dapat informasi dari kamu!!!” Jawabnya membentak
Aku menangis. aku tak tau lagi harus berkata apa. Aku tak tau akan berbuat apa. Semua resah tercurah ke segala arah. Aku kesal dengan kata tenang yang ke luar di ujung telepon ini.
“Ra halo ra.. ‘duarrr’ ” bunyi letusan di ujung telepon berbarengan dengan percikan api yang kini menyala di atas kepalaku, aku mencoba mundur.
“ok tenang ra, setengah badan bus muncul akibat ledakan tadi. aku udah nemuin posisi kamu” ucap pria itu.
“ok tenang ra, setengah badan bus muncul akibat ledakan tadi. aku udah nemuin posisi kamu” ucap pria itu.
Api mulai menjalar, ruangan menjadi bercahaya akibat api. Api yang menyala menyingkap semua tentang keberadaanku.
Ternyata aku berada di sebuah bus yang terbalik. Ini Sama sepeti yang kubayangkan tadi. Dimana kursi yang melekat pada lantai bus, kini menggantung di atas kepalaku.
‘Duar’ lagi letusan itu berbunyi, api mulai mebesar. Aku berusaha tenang dan kembali mundur dengan posisi terduduk.
‘Duar’ lagi letusan itu berbunyi, api mulai mebesar. Aku berusaha tenang dan kembali mundur dengan posisi terduduk.
Aku mendengar badan bus dihantam dengan menggebu-gebu. Semakin gaduh, suara hantaman terdengar semakin menjadi-jadi.
Aroma bensin menerpa hidungku. Ya tuhan, aku pasrah, aku benar pasrah. Silahkan ambil nyawaku ya tuhan. Satu pintaku, kirimlah aku ke tempat terbaik di sisiMu, Teriak batinku.
Aroma bensin menerpa hidungku. Ya tuhan, aku pasrah, aku benar pasrah. Silahkan ambil nyawaku ya tuhan. Satu pintaku, kirimlah aku ke tempat terbaik di sisiMu, Teriak batinku.
“Dugs.. dugs.. dugs..” terdengar sangat gaduh di luar sana. “tang.. tang” badan bus dipukuli bertubi-tubi. “crck.. crck..” lalu terdengar suara kaca yang pecah dari arah belakangku.
Ada yang memelukku Saat kupejamkan mata. Dia menarik badanku yang terduduk. Lalui sela-sela kaca bus yang pecah, perlahan ia mengeluarkan kepalaku, seluruh tubuhku, hingga aku bisa melihat dunia lagi. Kembali Merasakan gemericik hujan. Dan yang pasti di luar terang meski awan kegelapan menampakan diri.
Ada yang memelukku Saat kupejamkan mata. Dia menarik badanku yang terduduk. Lalui sela-sela kaca bus yang pecah, perlahan ia mengeluarkan kepalaku, seluruh tubuhku, hingga aku bisa melihat dunia lagi. Kembali Merasakan gemericik hujan. Dan yang pasti di luar terang meski awan kegelapan menampakan diri.
Ia dengan sigap membopongku. Terlihat banyak orang yang mengerumuni serta menanti dengan penuh kecemasan.
Raga ini diterlentangkan di atas selembar kain sarung. dua bilah bambu diselipkan di dalamnya, sehingga disulap layaknya tandu.
Lalu tandu dioper ke tangan berikutnya yang telah menanti. berlanjut Menjauh dari bus yang terguling, yang kini hanya menampakkan bagian belakang badan bus.
“Cepat lari… bus akan meledak” ucap seseorang yang tak terlihat olehku. Tak terhitung orang-orang yang tadi menyelamatkanku, berhamburan menjauh dari bus yang rebah layaknya kuda, dengan bagian kepala yang tertimbun
“Cepat lari… bus akan meledak” ucap seseorang yang tak terlihat olehku. Tak terhitung orang-orang yang tadi menyelamatkanku, berhamburan menjauh dari bus yang rebah layaknya kuda, dengan bagian kepala yang tertimbun
“Duarrr”
Seluruh tubuh bus terbakar, suaranya menggelegar seperti bom yang meledak. Asap pembakaran membumbung tinggi menuju batas atmosfer. Benar-benar tak ada ruang yang tak dijamahi api.
Kini, di hadapanku berdiri lelaki dengan keadaan kumuh, masih memakai jas hujan. Ia sibuk meliltkan perban, menutupi pelipisku yang robek. Hanya hidung, jambang dan jenggot tipis yang nampak di kedua belah mataku. Pria itu. ya, pria itu yang ada di khayalku tadi. Dia yang ada saat sebelum dan sesudah aku ke luar dari bus naas.
“bertahanlah ra aku akan bawa kamu ke rumah sakit” aku hanya mengangguk lemas, kuakhiri senyum semampuku.
Ada rasa yang beda, terasa penuh cinta ketika aku Dibopongnya entah hendak kemana.
Akhirnya ambulan membawaku, berjalan menjauh meninggalkan bus yang masih dilalap api, dan minghilang di tikungan jalan beraspal yang dilalui ambulan.
Kini hanya ada pria kumuh berjambang dan berjenggot tipis di atas ambulan menemaniku yang terbaring dengan wajah lelahnya.
0 komentar