-->
Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts
Thursday, 15 December 2016
Cerpen - Di ujung Telepon

Kelam, tak ada yang bisa dipandang, aku layaknya tunanetra. itu yang tergambar dari sorot mata, sewaktu aku terjaga di tempat ini. Entah itu dari tidur atau sesuatu hal lain, yang membuatku tak sadarkan diri. Sebab aku manusia normal, terbiasa tidur saat malam hari dan saat kantuk datang menghinggap. Yang jelas aku teguh berpendapat, mata ini terlelap bukan karena mengantuk.
Ya, aneh rasanya. Bagiamana tidak, kepalaku kini terasa sakit, seperti terbentur suatu benda keras nan tajam. Benar saja, ketika jemari mengusap, pelipis robek menyisakan darah yang telah mendaging. Begitu juga dengan ruangan dimana aku terlelap. Sunyi, keadaan sekitar kelam sekali. Hanya seberkas sinar yang menerpa mata, kukira sinar ini yang membuatku terbangun.
Aku coba meraba keadaan, tangan kugerakan ke segala arah. Tapi tak ada satu pun yang dapat kujangkau. Lengan ini hanya menangkap serat-serat yang kukira sarang laba-laba. 
Celana yang kukenakan sakunya bergetar, ada panggilan masuk. kududukan raga ini sebisa mungkin, lalu kurogoh saku dari celana berbahan dasar jeans dan kudapatkan ponselku. Di layar tercantum satu kata yang tetulis ‘my jelek’. Siapa ini? aneh sekali ia punya nama, Tanya batinku.
“Halo, ra. syukurlah tuhan masih sayang padamu” ucapnya cemas. Tunggu dulu, ia menyebutku dengan sebutan ra. Siapa itu ra? Aku binggung tidak mengerti.Celana yang kukenakan sakunya bergetar, ada panggilan masuk. kududukan raga ini sebisa mungkin, lalu kurogoh saku dari celana berbahan dasar jeans dan kudapatkan ponselku. Di layar tercantum satu kata yang tetulis ‘my jelek’. Siapa ini? aneh sekali ia punya nama, Tanya batinku.
“Ini siapa? Disini gelap”
“gelap? Ok tenang ra! Jangan matiin teleponnya ya”
“Iya, tapi ini siapa? Kenapa aku bisa di tempat kelam pekat begini?”
“Ini aku ra, Apa Kamu tak mengenali suaraku” jawabnya keheranan. Aku sama herannya, nama orang yang menghubungiku berbeda dengan nama di kontak ponselku. “Mhh.. ok ok. Aku ceritakan kalau kamu sudah kutemukan” ujarnya mengakhiri
“Oh.. baiklah” ucapku singkat
Orang itu sudah tak bersuara, di ujung telepon, kini terdengar suara gaduh “krasak krusuk” berulang kali. Kurasa ia sedang berlari sambil menggengam ponsel. Lalu keadaan di ujung telepon berubah, terdengar suara riuh bagaikan di pasar. Mungkin orang itu sedang berada di tengah kerumunan orang. Disusul dengan suara sirine yang khas “ngiung… ngiung…” terdengar gaduh sekali. namun lama-lama suara itu mengecil lalu menghilang.
“Halo ra” ia kembali berbicara
“Iya”
“Coba ceritain, posisi kamu ada dimana?”
“Disini gelap”
“Ok aku tau disana gelap, mhh.. terus kamu lagi duduk atau berdiri”
“Posisiku duduk ada, setitik lubang kecil bercahaya di atas sana”
“Cahaya? Mhh… cahayanya dari arah atas atau…”
“Dari atas, tapi sulit kugapai”
Terdengar suara bisik-bisik di ujung telepon, tak kudengar jelas percakapan apa, yang jelas batinku bertanya dimanakah aku berada, lalu siapa pria di ujung telepon?
Lama tak kudengar lagi suara di ujung telepon, hingga perhatianku tertuju pada bunyi “Tik.. tik.. tik..” suara apa itu? Bulu romaku kompak berdiri, membuat lemah jemari yang menggenggam telepon. Dalam kelam, sepasang bola mata ini bergerak ke kiri, kanan, lalu ke atas dan ke bawah mencari sumber suara. namun percuma, aku tak dapat melihat apa-apa di kegelapan ini. Suara itu konstan saja, tidak semakin keras maupun sebaliknya.
Namun, tiba-tiba setitik ciran jatuh, dan mendarat di hidungku. Cairan itu licin, berbau tajam dan ada sensasi panas sesaat di hidungku. Cairan apa ini? Lagi aku bertanya dengan batin.
Kuarahkan pandangan ke atas, Oh tidak, mana lubang tadi? kini tak kujumpai setitik cahaya itu. Tempat macam apa ini. Sudah kelam tak jua membuat hati ini tenang. Hal ini harus segera kuberi tahu pada orang itu. Dengan cepat aku berusaha bersuara.
“Halo.., lubang cahaya itu hilang” ucapku, beberapa detik ku terdiam, namun tak ada jawaban. Di ujung telepon hanya ada suara krasak-krusuk yang terdengar berulang kali.
“Halo.. lubang cahayanya hilang” kembali aku berucap, ia masih tak bersuara.
Tak ada sahutan datang dari ujung telepon, membuat detak jantungku serasa menaik, berdebar-debar tidak terkendali. Cairan yang jatuh ke hidungku tadi kembali mendarat di tempat yang sama berulang kali. Mengapa aku tak bisa tenang, keadaan ini sungguh menyebalkan. Kini yang bisa kulakan hanya menumpukan sepuluh jari di mukaku.
Aku masih dalam keadaan terduduk, ingin rasanya berdiri tapi tak mampu. Aku baru menyadari, sekedar menggerakkan kaki saja sulit, apalagi untuk tegak berdiri, sepertinya ada luka dalam pada kakiku.
Jemari menari mencoba meraba dimana aku terduduk kini. Lantai yang kududuki rasanya terbuat dari besi. Hati kecilku mengira aku berada di dalam sebuah drum minyak besar. Sebab hidungku sudah mandi dengan cairan seperti minyak. Tapi cepat kusanggah, bila memang seperti itu bagaimana caranya aku bisa masuk. Secara nalar drum minyak yang biasa kulihat hanya memiliki lubang yang kecil.
Dalam kelam jemari ini menyentuh sesuatu. Lagi, itu sebuah cairan, namun ini tidak licin layaknya minyak. Ini lembek, apakah ini t*i? Oh tidak, kalau benar, ini sungguh menjijikan. Kuulang menyentuhnya. Ini kesat, sepertinya ini tanah, ya ini tanah. Tanah yang berbaur dengan air.
Aku menduga, mungkin aku disekap di ruang bawah tanah. Sebentar, ini tidak mungkin, mana ada ruang bawah tanah beralaskan layaknya selembar besi. Namun bisa saja, biasanya ruang bawah tanah, pasti beruangan gelap. Ah ini membingungkan
Ada suara di ujung telepon
“Halo ra”
“Halo…” pekikku “lubang cahayanya menghilang. Ada cairan yang jatuh ke hidungku” ucapku panik
“Ok ra tenang ya”
“Aku takut! Sebenarnya aku ada dimana? Beritau aku!” Tensi ku meninggi.
“Ra kamu harus bisa tenang ya. Aku juga lagi cari kamu”
“Beritau aku sekarang!!!” Jawabku sinis
“Ra!!!” nadanya seakan membentakku, rasanya hatiku benar-benar lunak, nafasku seakan tertahan di dada. Sedih, aku ingin menangis.
“Kenapa kamu bentak aku? Apa salah aku bertanya” aku mulai terisak
“Rara sayang” ia memanggilku dengan kata sayang? “kamu harus tenang ya.. aku akan segera menemukanmu sayang” kata-katanya melunak, sepertinya itu tulus, dan entah mengapa rasa takutku menghilang.
“Rara, hallooo ra”
“Segera temukan aku, jelek”
“Hahaha” ia tertawa, apa ada yang lucu pikirku “hahaha.. hahaha” ia tertawa lepas, heran, aku kan hanya menyebut namanya sesuai kontak di hp ku.
Tapi rasanya, tidak sekali ini aku menyebut seorang umat nabi adam dengan sebutan jelek. Aku coba mengingatnya, namun tak utuh dan samar-samar terasa.
Pikiranku kini menerawang. Hati kecilku bertanya, siapa sosok yang kusebut jelek. Lalu terbayang di hadapanku, saat itu hari hujan lebat. Dalam jas hujan aku memeluk seseorang, ia mengendarai sebuah motor roda dua dengan body motor yang besar, dan aku di belakangnya.
Lalu, pikiranku melompat, keadaan berubah. Kini terbayang, aku sedang menunggu sebuah bus bersamanya. Tepat di depan tebing yang memanjang mengikuti daerah perbukitan. Dan setelah menunggu lama bus pun datang, nampaknya belum berpenumpang.
Lagi, pikiranku melompat, kini terbayang hujan semakin lebat, aku mendadahi seseorang berjambang dan berjanggut tipis dari balik kaca bus. Orang itu membalas lambaian tanganku, meski matanya tak nampak, karena ia sedang menggenakan sebuah jas hujan. Dan kembali pikiranku melompat, kini aku menatap bukit dari balik jendela bus yang ada di seberang kursi yang kududuki.
Tebing itu mendadak amblas dan melongsorkan banyak tanah. Aku menatap penuh kejadian itu, oh tidak longsor itu menabrak sisi medan bus dan mendorong bus menuju jurang di sisi sebaliknya.
Saat itu aku serasa terguling-guling di atas bus yang menunjukan gejala yang sama. Lalu bayang-bayang itu samar-samar di pikiranku, bagaikan layar tv yang rusak seperti dikerubuni semut-semut.
“Duarrrr” aku terkejut ada gemercik api di atas kepalaku.
Memang bulu roma tidak berdiri, tapi rohku seakan terbang beberapa detik meninggalkan tubuh ini. Mulai panik, semua tulang di badanku terasa lemas. Kusembunyikan mukaku di antara sepuluh jari.
Takut, aku takut, aku takuuut.
“Halo.. halo.. ada percikan api di atas.. ada percikan api di atas” ucapku cemas
“Ok.. ok.. Tenang ra. Kamu mundur saja pelan-pelan ok.
“Cepat temukan aku!!!” Aku memelas berharap ia segera menolong nyawaku.
“Dengar kataku ra ‘tenang’ jangan panik. Semakin kamu panik, semakin susah aku dapat informasi dari kamu!!!” Jawabnya membentak
Aku menangis. aku tak tau lagi harus berkata apa. Aku tak tau akan berbuat apa. Semua resah tercurah ke segala arah. Aku kesal dengan kata tenang yang ke luar di ujung telepon ini.
“Ra halo ra.. ‘duarrr’ ” bunyi letusan di ujung telepon berbarengan dengan percikan api yang kini menyala di atas kepalaku, aku mencoba mundur.
“ok tenang ra, setengah badan bus muncul akibat ledakan tadi. aku udah nemuin posisi kamu” ucap pria itu.
Api mulai menjalar, ruangan menjadi bercahaya akibat api. Api yang menyala menyingkap semua tentang keberadaanku.
Ternyata aku berada di sebuah bus yang terbalik. Ini Sama sepeti yang kubayangkan tadi. Dimana kursi yang melekat pada lantai bus, kini menggantung di atas kepalaku.
‘Duar’ lagi letusan itu berbunyi, api mulai mebesar. Aku berusaha tenang dan kembali mundur dengan posisi terduduk.
Aku mendengar badan bus dihantam dengan menggebu-gebu. Semakin gaduh, suara hantaman terdengar semakin menjadi-jadi.
Aroma bensin menerpa hidungku. Ya tuhan, aku pasrah, aku benar pasrah. Silahkan ambil nyawaku ya tuhan. Satu pintaku, kirimlah aku ke tempat terbaik di sisiMu, Teriak batinku.
“Dugs.. dugs.. dugs..” terdengar sangat gaduh di luar sana. “tang.. tang” badan bus dipukuli bertubi-tubi. “crck.. crck..” lalu terdengar suara kaca yang pecah dari arah belakangku.
Ada yang memelukku Saat kupejamkan mata. Dia menarik badanku yang terduduk. Lalui sela-sela kaca bus yang pecah, perlahan ia mengeluarkan kepalaku, seluruh tubuhku, hingga aku bisa melihat dunia lagi. Kembali Merasakan gemericik hujan. Dan yang pasti di luar terang meski awan kegelapan menampakan diri.
Ia dengan sigap membopongku. Terlihat banyak orang yang mengerumuni serta menanti dengan penuh kecemasan.
Raga ini diterlentangkan di atas selembar kain sarung. dua bilah bambu diselipkan di dalamnya, sehingga disulap layaknya tandu.
Lalu tandu dioper ke tangan berikutnya yang telah menanti. berlanjut Menjauh dari bus yang terguling, yang kini hanya menampakkan bagian belakang badan bus.
“Cepat lari… bus akan meledak” ucap seseorang yang tak terlihat olehku. Tak terhitung orang-orang yang tadi menyelamatkanku, berhamburan menjauh dari bus yang rebah layaknya kuda, dengan bagian kepala yang tertimbun
“Duarrr”
Seluruh tubuh bus terbakar, suaranya menggelegar seperti bom yang meledak. Asap pembakaran membumbung tinggi menuju batas atmosfer. Benar-benar tak ada ruang yang tak dijamahi api.
Kini, di hadapanku berdiri lelaki dengan keadaan kumuh, masih memakai jas hujan. Ia sibuk meliltkan perban, menutupi pelipisku yang robek. Hanya hidung, jambang dan jenggot tipis yang nampak di kedua belah mataku. Pria itu. ya, pria itu yang ada di khayalku tadi. Dia yang ada saat sebelum dan sesudah aku ke luar dari bus naas.
“bertahanlah ra aku akan bawa kamu ke rumah sakit” aku hanya mengangguk lemas, kuakhiri senyum semampuku.
Ada rasa yang beda, terasa penuh cinta ketika aku Dibopongnya entah hendak kemana.
Akhirnya ambulan membawaku, berjalan menjauh meninggalkan bus yang masih dilalap api, dan minghilang di tikungan jalan beraspal yang dilalui ambulan.
Kini hanya ada pria kumuh berjambang dan berjenggot tipis di atas ambulan menemaniku yang terbaring dengan wajah lelahnya.
Read more
Sunday, 4 December 2016
Sederhana Saja

Sekarang aku disini, menimba ilmu di kota sendiri. Gagal menjadi anak rantau seperti kebanyakan teman-temanku. Gagal menjadi anak yang bisa lebih mandiri tanpa bergantung pada orangtua dan keluarga. Berkali-kali aku berpikir bahwa ini semua adalah salah orangtua-ku, karena tanpa ridhonyalah aku gagal meraih mimpiku. Lagi dan lagi aku menangis, ingin rasanya berontak dengan keadaaan yang sekarang. Aku selalu saja dibuat iri oleh mereka yang menceritakan betapa bahagianya hidup di kota orang, iri dengan ceritanya yang seolah-olah kaya pengalaman. Aku seringkali bertanya pada diriku sendiri, apa yang bisa kulakukan untuk bisa sehebat mereka. Beginilah aku, Raina, karakter dan pikiran-pikiran negatifku.
Sampai aku mendengar kalimat bijak ini, wejangan dari seorang nenek yang bertugas membersihkan masjid kota yang tak sengaja kutemui kemarin sore, “Biarpun solatmu beribu rakaat, sedekahmu berjuta-juta rupiah, hajimu berkali-kali, tapi saat kau gores hati ibumu, surga bukan milikmu lagi”, aku merasa tersindir. Beliau dengan hebatnya menerima pekerjaan yang miskin gaji ini, namun beliau bangga dengan apa yang dikerjakannya. Betapa sombongnya diriku padahal tidak memiliki kemampuan apa-apa. Mengecewakan orangtua dan melukainya lewat mimpiku yang tidak bisa kuwujudkan sendiri.
“Ra, tolong antarkan adikmu sekolah”, perintah sederhana yang keluar dari mulut seorang ibu, namun dengan lantangnya aku pernah menolak.
“Ra, tolong buatkan bapak kopi”, perintah yang sama pula, sederhana, dari mulut seseorang yang dengan semangatnya bekerja tanpa mengeluh, namun dengan santainya pernah aku katakan “sebentar pak”.
Menurutku dulu, bahwa hidup dengan mimpi yang tinggi begitu bahagianya dan bahagia adalah tentang memiliki apa yang kita inginkan. Membahagiakan orangtua adalah tentang menuntut pendidikan di instansi terbaik, hasil rapor dengan nilai semaksimal mungkin, memberikan uang gaji yang sedemikian banyaknya, prestasi dengan juara tertinggi dari lawan yang terhebat, dan semua hal yang setara dengan itu. Bukan, ternyata bukan. Aku menyadari bahwa mimpi besar dengan mengabaikan hal-hal kecil adalah tidak berguna. Mimpi tidak melulu mengenai yang ‘tinggi’, tidak melulu tentang memiliki apa yang kita inginkan, namun mengenai hal kecil yang tidak melukai orang lain dan menghasilkan suatu hal yang berguna.
Kini aku tau apa jawaban dari pertanyaan yang belum mampu kujawab, apa yang bisa kulakukan untuk bisa sehebat teman-temanku. Ya.. bersyukur. Teramat lucu jika aku ingin bahagia tapi aku lupa bersyukur. Terlalu munafik jika aku ingin hebat tapi lupa dengan caranya bersyukur. Dan sekarang aku bersyukur karena ada sahabat yang menemaniku, yang selalu mengingatkanku, yang selalu mengajarkanku seperti apa bahagia yang hakiki itu. Nadila, remaja cantik dengan lesung pipi yang tentu membuat orang terpana ketika menatapnya. Pemilik tutur kata yang selalu saja mendamaikan setiap orang yang berbicara dengannya. Dia adalah motivator tersukses kala aku berkelana dalam kesedihan. Mentor terbaik kala aku terjebak dalam keputusasaan. Dia adalah sahabat sekaligus saksi dari pahitnya masa-masa penuh kesombongan seorang Raina.
“Jangan lupa kasih kabar ke ibu bapakmu, biar mereka nggak khawatir lagi”, setelah Nadila tau bahwa sepekan lalu aku mendapat pesan singkat dari ibu yang membuatnya ikut manangis, dia tidak pernah lelah dan tidak henti-hentinya mengingatkanku.
“Sekarang kamu tinggal di kota, sudah jauh sama bapak ibu. Kita nggak bisa jagain langsung. Jangan lupa jaga sikap juga bicara. Kalau senggang, disempatkan pulang ya nak.”
Begitulah pesan dari ibu yang aku terima sepekan lalu, dan ini yang Nadila katakan kepadaku, “Ra, bapak ibumu itu sayang sama kamu. Mereka ngelarang kamu merantau jauh itu karena mereka takut nggak bisa jagain kamu langsung, bisa jadi mereka takut gagal menjadi orangtua yang baik. Jangan suka su’udzon sama mereka, ridhonya Allah itu ridho orangtua. Yang dipikir jangan hanya kuliah dan organisasi aja sampe lupa pulang. Ngerti sendiri kan gimana rasanya nungguin orang yang dikangenin kayak gimana?”
Sekiranya begitulah sahabat yang mengajarkan banyak hal kepadaku. Tentang bersabar apalagi. Jangan kalian tanya bagaimana Nadila bersabar dengan mimpinya yang sempat ditanggalkan oleh keadaan. Dengan lapang dada dia mengatakan ini, quote dari film 5cm yang kini menjadi prinsipnya, “Ketika Tuhan mengambil sesuatu dari genggamanmu, Dia tak menghukummu, namun hanya membuka tanganmu untuk menerima yang lebih baik”. Tidak ada satupun dari ceritanya yang tak membuatku terisak. Meski luka serta sesak di dadanya masih tersisa, namun dia meyakini ada bahagia yang sedari dulu menantinya. Satu mimpi dariku, harapan akan selalu bersahabat dengannya dan dengan orang-orang hebat sepertinya, harapan akan selalu bisa menyapanya tidak peduli seberapa jauh jalanan menjeda jarak kami.
Sederhana saja, mimpiku kini terkesan biasa. Mungkin bagi kalian aku adalah gadis remaja yang tidak punya harapan dan tidak berani untuk berharap. Tapi aku yang mengetahui diriku sendiri, semua hal yang aku butuhkan yang baik untuk hidupku. Tentang mimpi, tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin bisa pulang ketika orangtua mengatakan “pulanglah nak”, aku hanya ingin bisa mengantar adikku sekolah ketika dia mengatakan “anterin adek sekolah ya mbak”, dan semua hal kecil seperti itu. Benar apa yang dikatakan Tan Malaka, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”. Ilmu yang kita dapat dari bangku sekolah sejatinya bukanlah dinding pembatas. Justru pemersatu harapan. Pemenuh kewajiban akan amanah yang diberikan. Sebuah hutang yang harus dibayarkan tatkala rakyat kecil telah rela bekerja keras demi lunasnya pajak dan tanggungan. Satu lagi mimpiku, menjadi sebaik-baik penjaga amanah yang diberikan.
Beberapa hari yang lalu aku membaca kalimat inspiratif dari sebuah kalender di ruang baca kampusku, kalimat inspiratif dari seorang penulis dan motivator hebat, Bryan tracy, dan aku berpesan ini untuk kalian, “Kembangkanlah rasa syukur dan bersyukurlah untuk hal-hal yang anda alami. Ketahuilah bahwa setiap langkah adalah satu lompatan menuju sesuatu yang lebih baik”. Benar memang, satu langkah kecil yang kita lakukan lebih berarti dari seribu mimpi yang hanya kita angankan. Jika kalian belum bisa memberikan suatu hal yang amatlah berarti bagi orangtua dan keluarga, mari bersamaku memenuhinya dari yang terkecil. Tidak menampakkan wajah sedih, misalnya. Jangan lupa pula selalu berpikir positif untuk banyak hal di luar sana. Semangat untuk kalian para pencari kebahagiaan!
Read more
Saturday, 3 December 2016
Imagination vs Reality

Satu hal yang bisa kukatakan tentang dunia ini. Bosan. Dunia ini terlalu membosankan, bukan begitu? Ya, tentu saja. Sambil berjalan pelan melewati lorong sekolah, aku memperhatikan keadaan luar, lewat jendela besar yang menghiasi lorong. Senyumku muncul saat aku memperhatikan setiap awan yang lewat, bunga yang bermekaran dan dahan-dahan pohon yang bergerak mengikuti arah angin. Untuk orang lain mungkin hal-hal ini terlihat biasa saja, tapi di mataku semua ini terlihat menakjubkan.
Di duniaku, setiap awan yang lewat terlihat seperti naga-naga berwarna-warni yang sedang terbang dengan gembira, atau bunga-bunga yang bermekaran, terlihat seperti peri-peri kecil dengan baju terusan yang indah, dan dahan-dahan pohon yang bergerak, terlihat seperti para manusia kayu yang sedang melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Ya, duniaku jelas lebih menyenangkan. Dunia di dalam kepalaku lebih berwarna, aku bisa menjadi apapun dan siapapun yang aku inginkan. Aku bisa menjadi seorang putri atau pelayan. Aku bisa menjadi pahlawan atau penjahat. Aku bisa menjadi apapun.
Tetapi sayang, dunia itu tak nyata. Senyumku redup saat aku mengingat hal itu. Kutundukan kepalaku, mata coklatku yang terbingkai kacamata menatap lantai dengan sedih. Dunia dalam pikiranku tidak nyata. Bibirku membentuk senyuman mengejek saat aku mengingat berita pagi ini. Pagi ini, aku mendengar dari tv mengenai serangan teroris, bencana alam, korupsi dan masih banyak lagi. Sungguh menyedihkan, dunia yang nyata adalah dunia yang mengecewakan.
Langkah kakiku membawaku menuju ruang kelasku. Aku membuka pintunya dan masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku duduk di tempat dudukku, di pojok belakang dan menopang kepalaku dengan tanganku. Betapa bodohnya orang-orang ini, pikirku memperhatikan anak-anak yang sekelas denganku. Dunia ini adalah dunia yang fana, dunia ini bisa tiba-tiba hancur dan yang mereka lakukan hanya mencoba untuk memiliki kehidupan sosial yang eksis. Memangnya apa gunanya setiap akhir pekan pergi ke mal? Apa untungnya memiliki teknologi terbaru? Apa enaknya memakai aksesoris mahal yang terlalu norak? Dunia ini benar-benar aneh.
Mataku tertuju kepada gerombolan anak di tengah kelas. Mereka sangat mencolok, Ryvan si anak laki-laki berbadan besar yang berisik, Julian cowok yang sering bercanda di kelas, Alice si cewek eksis, Carla cewek kurus –yang menyebalkan– teman Alice, lalu Lizzy, kakak kelas yang tinggal kelas karena cuti setengah tahun, di dunia ini mereka memang anak-anak yang keren tapi di duniaku, mereka takkan bertahan lebih dari 24 jam.
Aku mengeluarkan buku tulisku yang berisi berbagai cerita yang kubuat sendiri. Tanganku yang sedang menulis dengan cepat terhenti saat aku merasakan ada orang yang mendekat. Suara seseorang yang berbicara kepadaku membuatku mengadahkan kepalaku untuk menatap sumbernya. Ah, ternyata si Patrice, cewek menyebalkan yang sok berkuasa.
Aku pernah menjadi bahan ejekannya dulu saat kelas 6 sd, semenjak itu aku tak pernah menyukainya. Aku menatapnya, bibirnya bergerak namun tak satupun suaranya yang memasuki telingaku. Aku terus menatapnya dengan tatapan kosong. Samar-samar aku mendengar dia mengatakan mengenai betapa menjijikannya aku hidup dalam dunia fantasiku.
Aku tersenyum kepada diriku sendiri lalu berdiri, tinggiku sejajar dengannya. Mataku menatap matanya, senyumku melebar dan aku terkikik. Dia terlihat bingung dan menanyakan apa aku sudah gila. Mungkin, mungkin saja aku sudah gila. Aku berhenti terkikik dan berkata padanya, “Memangnya kenapa kalau aku hidup di dunia khayalan? Apakah kau sudah melihat bagaimana keadaan dunia nyata? Dunia nyata ini sangat mengerikan,” Ucapku sebelum kembali duduk dan membuka buku tulisku kembali.
Aku mendengar langkah kaki menjauh. Aku menghela nafas lega saat mereka sudah lebih dari jarak 1 meter. Dasar orang-orang bodoh, hanya mengandalkan popularitas takkan berguna dalam kehidupan ini. Aku mendongak ke atas memperhatikan atap kelas berwarna putih.
Aku kembali menunduk dan berjalan ke luar kelas. Benar, dunia ini benar-benar membosankan. Aku membenci dunia ini yang hanya menilai diriku atas dasar berat badan, ukuran, tinggi, warna kulit, dan ras. Aku berjalan tanpa arah hingga berhenti di balkon sekolah, Aku melirik jam di tanganku, 10 menit sebelum bel sekolah berdering.
Aku menarik nafas dalam-dalam. ‘Kau sudah menyerah dengan dunia ini?’ Suara kecil di kepalaku berbisik. ‘Mungkin, dunia ini sudah hampir hancur’, jawabku. ‘Kalau begitu akhiri saja,’ ucapnya, ‘Mudah kok. Cukup panjat saja balkon ini, lalu terjun,’ bisiknya. Suaranya sangat lembut dan menggoda. Aku menunduk ke bawah dan benar katanya, kalau terjun dari sini bisa mengakibatkan kematian.
Aku terdiam memikirkan pilihanku lalu tersenyum. ‘Terjun terdengar sangat menggoda. Dengan membunuh diriku, aku bisa terbebas dari dunia yang membosankan ini’ ucapku menanggapi ajakannya. Suara kecil itu terkekeh, ‘kalau begitu lompat saja,’ ‘Tapi,’ Selaku, “kalau aku mati begitu saja takkan terdengar mengesankan. Lagipula, dunia ini belum sepenuhnya hancur kok.” Jawabanku membuat suara kecil itu terkejut, ‘Kau yakin? Masih belum terlambat untuk berubah pikiran,’ Sebelum menjawab suara kecil itu, aku menengok ke belakang mendengar seseorang memanggil namaku.
‘Ya, aku yakin,’ Aku tersenyum dan berjalan ke arah temanku yang memanggilku, Ia tertawa dan merangkulku, lalu menggandeng tanganku dan menarikku menuju kelas. Senyumku melebar lalu aku terkikik, ‘Dunia ini, masih memiliki harapan.’ Aku bisa merasakan sumber suara itu tersenyum kecil lalu berkata, ‘Hah, padahal sudah sedikit lagi,’ Aku tertawa dalam hati, ‘Ckckck, dewa kematian, kau masih jauh,’ Kematian terkekeh, ‘Tenang saja aku akan mendapatkanmu secepatnya,’ Aku hanya tersenyum kepada diriku sendiri, ‘Kau akan mendapatkanku saat aku sudah tua dan keriput nanti,’ Kematian tertawa lalu berkata, ‘Kita lihat saja nanti,’ Lalu dia menghilang. Aku duduk di kursiku dan tersenyum mendengarkan temanku bercerita, ‘kita lihat saja nanti,’ gumamku dalam hati.
Read more