-->
Sunday, 4 December 2016

          
  #Quintis dan Rye
“Ternyata kau belum menyerah juga, kuat juga ternyata kau” entah pujian atau pun ancaman, yang jelas, si muka hiu, sebutanku untuk Han, semakin menggila menghabisi kami bertiga yang terikat dengan rapi di sebuah kursi kecil. Hampir-hampir kami tak bisa bergerak, kecuali dengan menjatuhkan diri ke lantai. Aku tak ingin kejadian ini terulang untuk kedua kalinya. Tapi, di otakku terus berpikir, “Bagaimana menghabisi ketiga keparat ini”.
            “Oke cukup, Quintis, Rye, ayo kita istirahat dulu, menghabisi ketiga bocah setan ini membuatku lelah, lagipula kita ada sebuah misi yang sangat dinanti-nanti, menghabisi seorang gadis muda yang telah berpisah lama dan kita rebut kekuasaannya” Sial, si muka hiu mengeluarkan seringainya yang sangat jelek. Aku yakin kalau dia ikut casting acara opera, pasti ia hanya ditertawakan dan dibuang jauh-jauh dari opera dan disuruh jangan mendekat opera lagi.
            “Memang siapa gadis muda itu? Apakah si Marja” bisik Rye ketika keluar dari pintu tempat “penyiksaan” aku dan kedua saudaraku. “Iya lah siapa lagi” jawab Quintis. Bodoh memang kedua keparat yang baru aku tahu nama aslinya, Quintis dan Rye. Maksud hati mereka ingin berbisik agar aku dan kedua saudaraku tak tahu, tapi mereka malah “berbisik” tak tahu aturan. “Hust, diam jangan keras-keras ngomongnya” itulah kata-kata Han yang bisa aku dengar ketika ia menutup pintu.
            “Kak, mereka akan menghabisi kak Marja, apa yang akan kita lakukan?” pertanyaan polos itu keluar dari mulut HJK. Memang, ia memiliki sifat ksatria sejati.
            “Hei, HJK, kau tak tahu apa kalau sekarang kita lagi terperangkap dalam ruangan yang pengap ini!” Korce menimpali pertanyaan HJK dengan sinis mungkin lebih tepatnya ia berpikir realistis dengan keadaan sekarang. Aku yakin pernyataan Korce tak membuat HJK patah semangat.
            “Luvius, kau masih kuat atau tidak?” ternyata Korce berbisik kepadaku.
            “Masih, memang kenapa?” semoga jawabanku ini membuat Korce senang dan mulai menjelaskan rencananya. Karena aku tahu, Korce selalu punya ide-ide yang brilian.
            “Oke, bagus, dari tadi aku lihat dibawahmu itu ada pisau....” sebelum Korce menyelesaikan kalimatnya, aku langsung menjatuhkan kursiku dan meraih pisau itu dengan mulutku. Korce yang agak terkejut karena aku langsung bergerak tanpa mendengarkan penjelasannya lebih lanjut, juga tanpa komando lagi menjatuhkan kursinya untuk aku lepaskan ikatannya dengan pisau yang aku gigit.
            Baru beberapa detik, pintu terbuka.
            Sesosok orang muncul dari cahaya luar ruangan penyiksaan. Agak kecil orang tersebut, bentuk tubuhnya tak kelihatan karena ia menggunakan jubah. Wajahnya sama sekali tak kelihatan. Dia diam sejenak setelah membuka pintu.
            Perasaan tegang mulai menjalar di hati Luvius. Korce yang semula tak sadar kalau ada orang yang masuk, juga mulai panik. HJK hanya bisa berdoa. Orang berjubah tersebut kemudian berjalan menujuku dan mengambil pisau yang berada digigitanku. Tak ada perkataan yang keluar dari mulut orang berjubah itu, bahkan helaan nafasnya tak terdengar. Semua begitu rapi. HJK yang berulang kali memanjatkan doa agar bisa lolos dari orang tersebut, hanya dalam waktu beberapa detik berubah menjadi heran akan rapinya orang berjubah tersebut melepaskan dirinya dari ikatan yang mengikat dirinya dan juga kedua saudaranya.
            “Lanjutkan! Tak usah pikirkan keadaanku! Aku akan baik-baik saja! Jaga diri kalian, saudaraku!” ucapan yang begitu singkat dan penuh dengan misterius. Sosok berjubah itu kemudian menghilang dengan begitu cepat, secepat ia melepaskan ikatan kami.
            Sejenak, aku berpikir, kenapa ia mengucapkan kalimat seperti itu?
            Tapi kesempatan bisa melepaskan diri tak kami sia-siakan. Saat orang berjubah itu menghilang, kami langsung keluar melewati pintu yang terbuka. Rumah yang sangat aku kenal. Lukisan bunda maria yang sedang menggendong yesus dengan pigura ukir yang sangat rumit ritmenya berwarna cokelat dan sebuah set meja hias dengan vas bunga, yang aku yakin itu hanya bunga imitasi, telah membuatku ke dalam de javu jaman dulu.
            Walaupun ini merupakan ruang bawah tanah, tapi menurutku ini sangat artistik untuk sebuah tempat penyimpanan. Aku yakin, si muka hiu itu sangat berhasrat pada seni atau mungkin dia hanya ingin mencuci uang hasil “merampoknya”.
            “Kak, kita mau kemana?” HJK berbisik kepadaku, aku paham bahwa HJK masih membutuhkan banyak arahan.
            “Kita sekarang ingin menyelamatkan kakak kita semua, oke?” ternyata Korce ikut menyambung, dia sebagai kakak HJK juga, rupanya telah tumbuh lebih dewasa lewat kejadian ini. Tapi satu hal yang masih aku herankan, dari mana Korce langsung tahu kalau orang yang berjubah itu adalah kakaknya yang lain? Aku cermati lagi bayangan orang berjubah tadi dalam pikiranku, setiap detil gerakannya aku amati. Dan lebih dalam aku mengamatinya, aku seperti setuju dengan pernyataan Korce yang menyebut “dia” sebagai kakaknya. Setidaknya aku jadi lebih paham akan kemampuan Korce yang lain, Menganalisis perkataan hanya dalam waktu sekejap mata dan tepat.
            “Memang kita punya kakak lagi selain kak Luvius?” pertanyaan polos dari HJK ini membuatku percaya bahwa Korce bisa menjawabnya dengan penuh kedewasaan. Karena memang aku pernah membicarakan hal ini kepada Korce.
            Benar saja, ternyata si muka hiu itu mencuci uang hasil “merampok” negara dengan cara membeli lukisan di pelelangan dengan harga yang sangat tinggi. Hampir di setiap sudut tembok saat menaiki tangga, di penuhi dengan lukisan antik nan langka. Kami semua sangat mengagumi selera seni dia, dan sangat membeci yang ia telah lakukan pada kami.
            “Kakak kenapa tidak menjawab pertanyaanku?” ternyata HJK ingin mengetahuinya lebih dalam. Aku memang berharap Korce bisa menjawab, aku menyikutnya yang sedang takzim dengan lukisan pemandangan di ujung tangga.
            “Jadi sebenarnya itu adalah lukisan yang sangat mahal karena dibuat dengan detail yang sangat unik” ternyata Korce masih berada dalam alam yang lain. Aku sikut sekali lagi. “Eh, maaf, ya jadi sebenarnya kita punya kakak lagi selain kak Luvius yaitu kak Marja”
            Saat Korce menyebutkan nama itu, mataku langsung tertuju pada lukisan seorang gadis mengenakan baju putih dengan garis merah muda di lengan, rok dengan motif merah jambu juga, serta kerudung yang berwarna merah jambu juga dengan rambut berwarna pirang yang keluar dari kerudung. Lukisan itu berada jelas di depan mataku, terletak di sebelah tangga menaiki lantai dua. Memang ruangan utama rumah tersebut sangat persis dengan pernah yang aku ingat sebelumnya, bahkan saat aku melihat ke sebuah lukisan keluarga yang berada di atas perapian, aku seperti tenggelam.
            Bayangan hitam itu serasa terekam jelas dalam ingatanku. Sosok berjubah itu adalah kenanganku masa lalu, dialah pelitaku, dialah yang membuatku terasa berguna dan berarti, dialah Marja. Dan ini, adalah rumah keluarga kami, keluarga kecil yang bahagia. Rumah yang bercat putih yang melambangkan kesucian dalam kebahagiaan, begitulah kata ayahku. Tapi apa hubungannya Marja dengan Han, Quintis, dan Rye?
            Benar tak salah lagi, ini adalah rumah kami, Keluarga Nuryono. Tempat perapian yang masih sangat aku ingat ketika aku dan Marja berebut mainan dan menumpahkan susu yang padahal kami sangat jarang sekali membeli susu karena keterbatasan ekonomi kami. Memang saat itu susu merupakan barang paling mewah dan tak semua orang bisa membelinya. Tapi, kami hidup dengan kehangatan dan kebahagiaan dalam keluarga.
            “Luvius kau tidak apa-apa?” periksa Korce. Rupanya sikapku yang begitu terkejut, membuatku seolah terkena penyakit skizofernia yang akut, bahkan perkataan dari Korce pun nyaris membuatku takut akannya.
            “Luvius, ingat kita harus segera keluar dari sini, aku agak sedikit khawatir orang berjubah itu merupakan trik si Han” Korce kembali menunjukkan kedewasaan dia dalam berpikir. De Javu ini benar-benar membuatku seolah anak kecil yang harus dituntun setiap langkahnya.
            Aku tak menjawab pertanyaan Korce. Hanya acungan jempol dan anggukan kepala tanda aku baik-baik saja dan bersiap untuk berjalanan berikutnya. “Eh, kak, kita tidak makan dulu atau setidaknya bawa persedian makanan, hanya untuk berjaga saja” HJK kali ini yang angkat suara saat kami hendak membuka pintu masuk rumah. Aku dan Korce bertatapan beberapa saat.
            Tak ingin seperti orang skizofernia atau phobia akan sesuatu, sekarang aku yang mengambil keputusan. “HJK, lebih baik kamu sekarang ke dapur dan makanlah secukupnya, setelah itu bawalah untuk bekal, kakak akan berkeliling di rumah ini, kalau kau bagaimana Korce?” tawarku. Aku tak yakin Korce akan mengikuti diriku.

            “Aku akan menjaga HJK” jawab Korce. Entah ingin mengambil jalan aman ataupun memang ingin menjaga sang adik. Mungkin saja yang paling ditakutinya adalah jebakan yang ada dirumah ini, terutama didapur. Pilihan yang tepat menurutku.
Tagged
Al-Qalam Creative Media
Ditulis Oleh Al-Qalam Creative Media

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar