#Quintis dan Rye
“Ternyata
kau belum menyerah juga, kuat juga ternyata kau” entah pujian atau pun ancaman,
yang jelas, si muka hiu, sebutanku untuk Han, semakin menggila menghabisi kami
bertiga yang terikat dengan rapi di sebuah kursi kecil. Hampir-hampir kami tak
bisa bergerak, kecuali dengan menjatuhkan diri ke lantai. Aku tak ingin
kejadian ini terulang untuk kedua kalinya. Tapi, di otakku terus berpikir, “Bagaimana menghabisi ketiga keparat ini”.
“Oke cukup, Quintis, Rye, ayo kita istirahat dulu,
menghabisi ketiga bocah setan ini membuatku lelah, lagipula kita ada sebuah
misi yang sangat dinanti-nanti, menghabisi seorang gadis muda yang telah
berpisah lama dan kita rebut kekuasaannya” Sial, si muka hiu mengeluarkan
seringainya yang sangat jelek. Aku yakin kalau dia ikut casting acara opera,
pasti ia hanya ditertawakan dan dibuang jauh-jauh dari opera dan disuruh jangan
mendekat opera lagi.
“Memang siapa gadis muda itu? Apakah si Marja” bisik Rye
ketika keluar dari pintu tempat “penyiksaan” aku dan kedua saudaraku. “Iya lah
siapa lagi” jawab Quintis. Bodoh memang kedua keparat yang baru aku tahu nama
aslinya, Quintis dan Rye. Maksud hati mereka ingin berbisik agar aku dan kedua
saudaraku tak tahu, tapi mereka malah “berbisik” tak tahu aturan. “Hust, diam
jangan keras-keras ngomongnya” itulah kata-kata Han yang bisa aku dengar ketika
ia menutup pintu.
“Kak, mereka akan menghabisi kak Marja, apa yang akan
kita lakukan?” pertanyaan polos itu keluar dari mulut HJK. Memang, ia memiliki
sifat ksatria sejati.
“Hei, HJK, kau tak tahu apa kalau sekarang kita lagi
terperangkap dalam ruangan yang pengap ini!” Korce menimpali pertanyaan HJK
dengan sinis mungkin lebih tepatnya ia berpikir realistis dengan keadaan
sekarang. Aku yakin pernyataan Korce tak membuat HJK patah semangat.
“Luvius, kau masih kuat atau tidak?” ternyata Korce
berbisik kepadaku.
“Masih, memang kenapa?” semoga jawabanku ini membuat
Korce senang dan mulai menjelaskan rencananya. Karena aku tahu, Korce selalu
punya ide-ide yang brilian.
“Oke, bagus, dari tadi aku lihat dibawahmu itu ada pisau....”
sebelum Korce menyelesaikan kalimatnya, aku langsung menjatuhkan kursiku dan
meraih pisau itu dengan mulutku. Korce yang agak terkejut karena aku langsung
bergerak tanpa mendengarkan penjelasannya lebih lanjut, juga tanpa komando lagi
menjatuhkan kursinya untuk aku lepaskan ikatannya dengan pisau yang aku gigit.
Baru beberapa detik, pintu terbuka.
Sesosok orang muncul dari cahaya luar ruangan penyiksaan.
Agak kecil orang tersebut, bentuk tubuhnya tak kelihatan karena ia menggunakan
jubah. Wajahnya sama sekali tak kelihatan. Dia diam sejenak setelah membuka
pintu.
Perasaan tegang mulai menjalar di hati Luvius. Korce yang
semula tak sadar kalau ada orang yang masuk, juga mulai panik. HJK hanya bisa
berdoa. Orang berjubah tersebut kemudian berjalan menujuku dan mengambil pisau
yang berada digigitanku. Tak ada perkataan yang keluar dari mulut orang
berjubah itu, bahkan helaan nafasnya tak terdengar. Semua begitu rapi. HJK yang
berulang kali memanjatkan doa agar bisa lolos dari orang tersebut, hanya dalam
waktu beberapa detik berubah menjadi heran akan rapinya orang berjubah tersebut
melepaskan dirinya dari ikatan yang mengikat dirinya dan juga kedua saudaranya.
“Lanjutkan! Tak usah pikirkan keadaanku! Aku akan baik-baik
saja! Jaga diri kalian, saudaraku!” ucapan yang begitu singkat dan penuh dengan
misterius. Sosok berjubah itu kemudian menghilang dengan begitu cepat, secepat
ia melepaskan ikatan kami.
Sejenak, aku berpikir, kenapa ia mengucapkan kalimat seperti itu?
Tapi kesempatan bisa melepaskan diri tak kami sia-siakan.
Saat orang berjubah itu menghilang, kami langsung keluar melewati pintu yang
terbuka. Rumah yang sangat aku kenal. Lukisan bunda maria yang sedang
menggendong yesus dengan pigura ukir yang sangat rumit ritmenya berwarna
cokelat dan sebuah set meja hias dengan vas bunga, yang aku yakin itu hanya
bunga imitasi, telah membuatku ke dalam de
javu jaman dulu.
Walaupun ini merupakan ruang bawah tanah, tapi menurutku
ini sangat artistik untuk sebuah tempat penyimpanan. Aku yakin, si muka hiu itu
sangat berhasrat pada seni atau mungkin dia hanya ingin mencuci uang hasil
“merampoknya”.
“Kak, kita mau kemana?” HJK berbisik kepadaku, aku paham
bahwa HJK masih membutuhkan banyak arahan.
“Kita sekarang ingin menyelamatkan kakak kita semua,
oke?” ternyata Korce ikut menyambung, dia sebagai kakak HJK juga, rupanya telah
tumbuh lebih dewasa lewat kejadian ini. Tapi satu hal yang masih aku
herankan, dari mana Korce langsung tahu kalau orang yang berjubah itu adalah
kakaknya yang lain? Aku cermati lagi bayangan orang berjubah tadi dalam
pikiranku, setiap detil gerakannya aku amati. Dan lebih dalam aku mengamatinya,
aku seperti setuju dengan pernyataan Korce yang menyebut “dia” sebagai
kakaknya. Setidaknya aku jadi lebih paham akan kemampuan Korce yang lain,
Menganalisis perkataan hanya dalam waktu sekejap mata dan tepat.
“Memang kita punya kakak lagi selain kak Luvius?”
pertanyaan polos dari HJK ini membuatku percaya bahwa Korce bisa menjawabnya
dengan penuh kedewasaan. Karena memang aku pernah membicarakan hal ini kepada
Korce.
Benar saja, ternyata si muka hiu itu mencuci uang hasil
“merampok” negara dengan cara membeli lukisan di pelelangan dengan harga yang
sangat tinggi. Hampir di setiap sudut tembok saat menaiki tangga, di penuhi dengan
lukisan antik nan langka. Kami semua sangat mengagumi selera seni dia, dan
sangat membeci yang ia telah lakukan pada kami.
“Kakak kenapa tidak menjawab pertanyaanku?” ternyata HJK
ingin mengetahuinya lebih dalam. Aku memang berharap Korce bisa menjawab, aku
menyikutnya yang sedang takzim dengan lukisan pemandangan di ujung tangga.
“Jadi sebenarnya itu adalah lukisan yang sangat mahal
karena dibuat dengan detail yang sangat unik” ternyata Korce masih berada dalam
alam yang lain. Aku sikut sekali lagi. “Eh, maaf, ya jadi sebenarnya kita punya
kakak lagi selain kak Luvius yaitu kak Marja”
Saat Korce menyebutkan nama itu, mataku langsung tertuju
pada lukisan seorang gadis mengenakan baju putih dengan garis merah muda di lengan,
rok dengan motif merah jambu juga, serta kerudung yang berwarna merah jambu
juga dengan rambut berwarna pirang yang keluar dari kerudung. Lukisan itu
berada jelas di depan mataku, terletak di sebelah tangga menaiki lantai dua. Memang
ruangan utama rumah tersebut sangat persis dengan pernah yang aku ingat
sebelumnya, bahkan saat aku melihat ke sebuah lukisan keluarga yang berada di
atas perapian, aku seperti tenggelam.
Bayangan hitam itu serasa terekam jelas dalam ingatanku.
Sosok berjubah itu adalah kenanganku masa lalu, dialah pelitaku, dialah yang
membuatku terasa berguna dan berarti, dialah Marja. Dan ini, adalah rumah
keluarga kami, keluarga kecil yang bahagia. Rumah yang bercat putih yang
melambangkan kesucian dalam kebahagiaan, begitulah kata ayahku. Tapi apa
hubungannya Marja dengan Han, Quintis, dan Rye?
Benar tak salah lagi, ini adalah rumah kami, Keluarga
Nuryono. Tempat perapian yang masih sangat aku ingat ketika aku dan Marja
berebut mainan dan menumpahkan susu yang padahal kami sangat jarang sekali
membeli susu karena keterbatasan ekonomi kami. Memang saat itu susu merupakan
barang paling mewah dan tak semua orang bisa membelinya. Tapi, kami hidup
dengan kehangatan dan kebahagiaan dalam keluarga.
“Luvius kau tidak apa-apa?” periksa Korce. Rupanya
sikapku yang begitu terkejut, membuatku seolah terkena penyakit skizofernia
yang akut, bahkan perkataan dari Korce pun nyaris membuatku takut akannya.
“Luvius, ingat kita harus segera keluar dari sini, aku
agak sedikit khawatir orang berjubah itu merupakan trik si Han” Korce kembali
menunjukkan kedewasaan dia dalam berpikir. De
Javu ini benar-benar membuatku seolah anak kecil yang harus dituntun setiap
langkahnya.
Aku tak menjawab pertanyaan Korce. Hanya acungan jempol
dan anggukan kepala tanda aku baik-baik saja dan bersiap untuk berjalanan
berikutnya. “Eh, kak, kita tidak makan dulu atau setidaknya bawa persedian
makanan, hanya untuk berjaga saja” HJK kali ini yang angkat suara saat kami
hendak membuka pintu masuk rumah. Aku dan Korce bertatapan beberapa saat.
Tak ingin seperti orang skizofernia atau phobia akan
sesuatu, sekarang aku yang mengambil keputusan. “HJK, lebih baik kamu sekarang
ke dapur dan makanlah secukupnya, setelah itu bawalah untuk bekal, kakak akan
berkeliling di rumah ini, kalau kau bagaimana Korce?” tawarku. Aku tak yakin
Korce akan mengikuti diriku.
“Aku akan menjaga HJK” jawab Korce. Entah ingin mengambil
jalan aman ataupun memang ingin menjaga sang adik. Mungkin saja yang paling
ditakutinya adalah jebakan yang ada dirumah ini, terutama didapur. Pilihan yang
tepat menurutku.
0 komentar