Satu hal yang bisa kukatakan tentang dunia ini. Bosan. Dunia ini terlalu membosankan, bukan begitu? Ya, tentu saja. Sambil berjalan pelan melewati lorong sekolah, aku memperhatikan keadaan luar, lewat jendela besar yang menghiasi lorong. Senyumku muncul saat aku memperhatikan setiap awan yang lewat, bunga yang bermekaran dan dahan-dahan pohon yang bergerak mengikuti arah angin. Untuk orang lain mungkin hal-hal ini terlihat biasa saja, tapi di mataku semua ini terlihat menakjubkan.
Di duniaku, setiap awan yang lewat terlihat seperti naga-naga berwarna-warni yang sedang terbang dengan gembira, atau bunga-bunga yang bermekaran, terlihat seperti peri-peri kecil dengan baju terusan yang indah, dan dahan-dahan pohon yang bergerak, terlihat seperti para manusia kayu yang sedang melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Ya, duniaku jelas lebih menyenangkan. Dunia di dalam kepalaku lebih berwarna, aku bisa menjadi apapun dan siapapun yang aku inginkan. Aku bisa menjadi seorang putri atau pelayan. Aku bisa menjadi pahlawan atau penjahat. Aku bisa menjadi apapun.
Tetapi sayang, dunia itu tak nyata. Senyumku redup saat aku mengingat hal itu. Kutundukan kepalaku, mata coklatku yang terbingkai kacamata menatap lantai dengan sedih. Dunia dalam pikiranku tidak nyata. Bibirku membentuk senyuman mengejek saat aku mengingat berita pagi ini. Pagi ini, aku mendengar dari tv mengenai serangan teroris, bencana alam, korupsi dan masih banyak lagi. Sungguh menyedihkan, dunia yang nyata adalah dunia yang mengecewakan.
Langkah kakiku membawaku menuju ruang kelasku. Aku membuka pintunya dan masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku duduk di tempat dudukku, di pojok belakang dan menopang kepalaku dengan tanganku. Betapa bodohnya orang-orang ini, pikirku memperhatikan anak-anak yang sekelas denganku. Dunia ini adalah dunia yang fana, dunia ini bisa tiba-tiba hancur dan yang mereka lakukan hanya mencoba untuk memiliki kehidupan sosial yang eksis. Memangnya apa gunanya setiap akhir pekan pergi ke mal? Apa untungnya memiliki teknologi terbaru? Apa enaknya memakai aksesoris mahal yang terlalu norak? Dunia ini benar-benar aneh.
Mataku tertuju kepada gerombolan anak di tengah kelas. Mereka sangat mencolok, Ryvan si anak laki-laki berbadan besar yang berisik, Julian cowok yang sering bercanda di kelas, Alice si cewek eksis, Carla cewek kurus –yang menyebalkan– teman Alice, lalu Lizzy, kakak kelas yang tinggal kelas karena cuti setengah tahun, di dunia ini mereka memang anak-anak yang keren tapi di duniaku, mereka takkan bertahan lebih dari 24 jam.
Aku mengeluarkan buku tulisku yang berisi berbagai cerita yang kubuat sendiri. Tanganku yang sedang menulis dengan cepat terhenti saat aku merasakan ada orang yang mendekat. Suara seseorang yang berbicara kepadaku membuatku mengadahkan kepalaku untuk menatap sumbernya. Ah, ternyata si Patrice, cewek menyebalkan yang sok berkuasa.
Aku pernah menjadi bahan ejekannya dulu saat kelas 6 sd, semenjak itu aku tak pernah menyukainya. Aku menatapnya, bibirnya bergerak namun tak satupun suaranya yang memasuki telingaku. Aku terus menatapnya dengan tatapan kosong. Samar-samar aku mendengar dia mengatakan mengenai betapa menjijikannya aku hidup dalam dunia fantasiku.
Aku tersenyum kepada diriku sendiri lalu berdiri, tinggiku sejajar dengannya. Mataku menatap matanya, senyumku melebar dan aku terkikik. Dia terlihat bingung dan menanyakan apa aku sudah gila. Mungkin, mungkin saja aku sudah gila. Aku berhenti terkikik dan berkata padanya, “Memangnya kenapa kalau aku hidup di dunia khayalan? Apakah kau sudah melihat bagaimana keadaan dunia nyata? Dunia nyata ini sangat mengerikan,” Ucapku sebelum kembali duduk dan membuka buku tulisku kembali.
Aku mendengar langkah kaki menjauh. Aku menghela nafas lega saat mereka sudah lebih dari jarak 1 meter. Dasar orang-orang bodoh, hanya mengandalkan popularitas takkan berguna dalam kehidupan ini. Aku mendongak ke atas memperhatikan atap kelas berwarna putih.
Aku kembali menunduk dan berjalan ke luar kelas. Benar, dunia ini benar-benar membosankan. Aku membenci dunia ini yang hanya menilai diriku atas dasar berat badan, ukuran, tinggi, warna kulit, dan ras. Aku berjalan tanpa arah hingga berhenti di balkon sekolah, Aku melirik jam di tanganku, 10 menit sebelum bel sekolah berdering.
Aku menarik nafas dalam-dalam. ‘Kau sudah menyerah dengan dunia ini?’ Suara kecil di kepalaku berbisik. ‘Mungkin, dunia ini sudah hampir hancur’, jawabku. ‘Kalau begitu akhiri saja,’ ucapnya, ‘Mudah kok. Cukup panjat saja balkon ini, lalu terjun,’ bisiknya. Suaranya sangat lembut dan menggoda. Aku menunduk ke bawah dan benar katanya, kalau terjun dari sini bisa mengakibatkan kematian.
Aku terdiam memikirkan pilihanku lalu tersenyum. ‘Terjun terdengar sangat menggoda. Dengan membunuh diriku, aku bisa terbebas dari dunia yang membosankan ini’ ucapku menanggapi ajakannya. Suara kecil itu terkekeh, ‘kalau begitu lompat saja,’ ‘Tapi,’ Selaku, “kalau aku mati begitu saja takkan terdengar mengesankan. Lagipula, dunia ini belum sepenuhnya hancur kok.” Jawabanku membuat suara kecil itu terkejut, ‘Kau yakin? Masih belum terlambat untuk berubah pikiran,’ Sebelum menjawab suara kecil itu, aku menengok ke belakang mendengar seseorang memanggil namaku.
‘Ya, aku yakin,’ Aku tersenyum dan berjalan ke arah temanku yang memanggilku, Ia tertawa dan merangkulku, lalu menggandeng tanganku dan menarikku menuju kelas. Senyumku melebar lalu aku terkikik, ‘Dunia ini, masih memiliki harapan.’ Aku bisa merasakan sumber suara itu tersenyum kecil lalu berkata, ‘Hah, padahal sudah sedikit lagi,’ Aku tertawa dalam hati, ‘Ckckck, dewa kematian, kau masih jauh,’ Kematian terkekeh, ‘Tenang saja aku akan mendapatkanmu secepatnya,’ Aku hanya tersenyum kepada diriku sendiri, ‘Kau akan mendapatkanku saat aku sudah tua dan keriput nanti,’ Kematian tertawa lalu berkata, ‘Kita lihat saja nanti,’ Lalu dia menghilang. Aku duduk di kursiku dan tersenyum mendengarkan temanku bercerita, ‘kita lihat saja nanti,’ gumamku dalam hati.
0 komentar